EVIDENCE BASED PRACTICE: RESEARCH UTILIZATION Program Konseling Model Information-Motivation-Behavioral (IMB) Infeksi Menular Seksual (IMS) di Lapas
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Penyakit
menular seksual merupakan salah satu penyakit infeksi yang banyak terjadi di
negara – negara berkembang salah satunya di Indonesia. Prevalensi Sifilis pada
pada narapidana pria adalah 1,1% dan pada narapidana wanita lebih tinggi yaitu
6% sampai dengan 8,5%. Infeksi menular seksual juga merupakan rangkaian
penyakit infeksi dengan berbagai etiologi infeksi, dimana penularan melalui
hubungan seksual berperan utama dalam epidemiologi. Di Amerika diperkirakan
infeksi menular seksual banyak terjadi pada usia 15 – 24 tahun 50 % diantaranya
adalah syphilis.1
Prevalensi
narapidana dengan penyakit menular seksual Chlamydia
tinggi di Amerika Serikat2 dan hasil
penelitian menunjukkan dari 6,4 menjadi 13% dari responden telah dilaporkan
positif untuk infeksi ini.3 Penemuan awal
sifilis 0,5% kondisi ini sesuai dengan fasilitas di Amerika Serikat sebesar
0,6% menjadi 2,7% narapidana dinyatakan positif sifilis.4 Kasus gonorrhea pada skrining awal masuk
penjara Amerika Serikat didapakan 1,3%.5
Epidemi infeksi
HIV pada orang Afrika Amerika dengan jumlah sekitar 45% dari infeksi HIV baru
setiap tahun dan memiliki prevalensi HIV 7 kalilipat dari orang kulit putih
Amerika.6 Lebih dari 70%
dari pengguna narkoba suntik dilaporkan peralatan berbagi di Ukraina dan
penjara Indonesia.7,8 Tato dan tindik
badan yang tidak steril merupakan sumber lain dari transmisi infeksi melalui
darah di Penjara.9 Dalam sebuah
survey 2012 lebih dari 2000 tahanan Australia, 7,1% melaporkan berhubungan seks
tanpa kondom di penjara dengan tahanan lain dan 2,6% pria mengaku sedang
dipaksa (terpaksa atau takut) untuk tindakan seksual yang tidak diinginkan.10
Pelayanan
kesehatan yang di lakukan di lapas berupa program penangulangan infeksi menular
seksual mulai dilakukan sejak narapidana masuk sebagai tahanan baru atau pun
saat melakukan pemeriksaan kesehatan di klinik Lapas. pelaksanaan program yang
terus menerus dalam melakukan skrining IMS diawal dan setelah penemuan kasus
serta pelaporannya dapat memantau perkembangan pengobatan yang di berikan
sehingga tidak menularkan pada warga binaan yang lain. Penelitian yang
dilakukan di lapas wanita kelas IIA
Malang bahwa untuk pelaksanaan program ims di lapas dilakukan oleh mobile clinic team dari puskesmas yang membawahi wilayah kerja pada
lapas wanita kelas IIA malang.1 Penelitian yang
sama yang juga di lakukan oleh Jane
powel pada beberapa lapas di inggris bahwa pelaksanaan program infeksi menular
seksual yang dilakakukanpada tahun 2000 bekejasama dengan dinas kesehatan
setempat namun setelahnya dilakukan oleh perawat di Lapas yang bekerjasama
dengan tenaga kesehatan lain sehingga program ini dapat terus berlanjut selain
program-program lain yang tetap di lakukan di Lapas.11
Lapas
sebagai kesempatan kunci dalam memberikan intervensi kesehatan untuk 2 alasan.
Pertama, lebih banyak individu melewati penjara dari penjara. Seperti yang
ditunjukkan oleh angka-angka dari Biro-Statistik Keadilan untuk tahun 2008,
sekitar 735.000 narapidana dibebaskan dari penjara, sementara lebih dari 12
juta narapidana telah melewati penjara sebelumnya12. Intervensi
berbasis penjara diperlukan jika tujuan kesehatan masyarakat adalah untuk
mencapai mayoritas narapidana di Penjara. Kedua, mengurangi morbiditas infeksi
lazim dan mengurangi infeksi insiden HIV, TB, IMS, dan HCV di antara tahanan
penjara kemungkinan akan menurunkan tingkat infeksi ini di masyarakat. Hal ini
terutama berlaku jika orang ditahan tersebut dikendalikan untuk tidak menular
(sembuh, dalam kasus IMS) atau nyata kurang menular (oleh penurunan tingkat
HIV-1 RNA akibat terapi antiretroviral). Menjadi sebuah tantangan untuk
melengkapi skrining dan menerapkan pengobatan dalam pengaturan ini mengingat
keterbatasan waktu dari Penjara13.
Penatalaksanaan
program Infeksi menular seksual di Lapas perlu dilakukan secara
berkesinambungan mengingat infeksi menular seksual juga menjadi pintu masuk
penyakit HIV.
B.
TUJUAN
Tujuan penulisan
research utilization ini adalah sebagai penerapan program konseling model information-motivation-behavioral (IMB)
pada infeksi menular seksual (IMS) di Lapas.
BAB
2
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Infeksi
Menular Seksual
Infeksi
Menular Seksual (IMS) di definisikan sebagai infeksi yang ditularkan dari satu
orang ke orang lain sebagai akibat dari tindakan seksual. Definisi ini juga
termasuk gejala sisa yang ditularkan dari ibu yang terinfeksi ke anak (infeksi
bawaan).14 Banyak infeksi
menular seksual meskipun beberapa termasuk HIV dan Hepatitis B dan C, juga
ditularkan oleh darah atau produk darah yang lain, seperti Human Papiloma Virus
(HPV) dan Herpes simplex Virus (HSV) juga dapat ditularkan melalui kontak tubuh
yang dekat.15
B.
Pengembangan
Dasar Ilmiah untuk IMS dari abad 19
Revolusi
industri membawa serta perpindahan penduduk ke kota yang juga berkontribusi
pada peningkatan angka PMS. Revolusi industry juga merupakan pengungkit untuk
kemajuan di bidang teknik dan ilmu alam, yang akan memiliki efek di seluruh
bidang kesehatan. Negara-negara berkembang memungkinkan pengobatan kesehatan
masyarakat, serta memberikan pendidikan kesehatan, kepada masyarakat kelas
menengah untuk meningkatkan tenaga kerja untuk menyediakan layanan.14
Ada
beberapa faktor resiko yang membuat populasi tertentu rentan terhadap IMS dari
pada yang lain. Faktor risiko yang umum bagi banyak IMS adalah usia muda.
Kelompok ini rentan untuk melakukan aktivitas seksual beresiko tinggi dari pada
populasi yang lebih tua. Kelompok lain yang di ketahui berpatisipasi dalam aktivitas
seksual beresiko tinggi (seperti hubungan seks dengan banyak pasangan dan
hubungan seks tanpa kondom) termasuk pekerja seks komersil, pengguna narkoba
melalui jarum suntik dan para Warga Binaan Pemasyarakan (WBP). Faktor resiko
tambahan untuk beberapa IMS termasuk status sosial ekonomi rendah, dan
kebersihan yang buruk.14
C.
Penatalaksanaan
IMS
Penatalaksanaan
pasien IMS yang efektif, tidak terbatas hanya pada pengobatan antimikroba untuk
memperoleh kesembuhan dan menurunkan tingkat penularan namun juga memberikan
pelayanan paripurna yang dibutuhkan untuk mencapai derajat kesehatan reproduksi
yang baik.16
Komponen penatalaksanaan IMS meliputi:16
a.
Anamnesis tentang riwayat infeksi/
penyakit,
b.
Pemeriksaan fisik dan pengambilan
spesimen/bahan pemeriksaan,
c.
Diagnosis yang tepat,
d.
Pengobatan yang efektif,
e. Nasehat
yang berkaitan dengan perilaku seksual,
f. Penyediaan
kondom dan anjuran pemakaiannya,
g. Penatalaksanaan
mitra seksual,
h. Pencatatan
dan pelaporan kasus, dan
i.
Tindak lanjut klinis secara tepat.
D.
Konseling
IMS
Konseling bagi pasien infeksi
menular seksual (IMS) sejak lama kurang mendapat perhatian bahkan sering diabaikan.
Baru setelah ditemukan penyakit infeksi HIV/AIDS yang belum ada obat belum
ditemukan vaksin untuk pencegahan serta mempunyai dampak luas bagi pasien,
keluarga, dan masyarakat luas maka konseling menjadi salah satu proses yang
penting dan berarti dalam menanggulangi penyakit tersebut. Sebenamya konseling
merupakan hal yang perlu dilakukan pada semua IMS, serta diikut sertakan dalam
managemen pengobatan dan pencegahan penyakit.17–19
Konseling adalah suatu proses
penerapan strategi komunikasi dalam membantu seseorang untuk mengetahui dan belajar
menyelesaikan masalah interpersonal dan emosional dengan baik serta memotivasi
individu tersebut untuk memutuskan hal tertentu atau mengubah perilakunya.
Peran konselor dalam konseling adalah membantu dan memfasilitasi klien untuk
dapat membangun kemampuan diri dalam pengambilan keputusan bijak dan realistis,
menuntun perilaktr mereka, dan marnpu mengemban konsekuensi dari pilihannya,
serta memberikan informasi yang terkini.20
1.
Prinsip Dasar Konseling
Dalam
menjalankan konseling, beberapa prinsip dasar konseling yang perlu
diperhatikana meliputi:21
a.
Spesifik atas kebutuhan atau masalah dan
lingkungan klien .
b.
Terjadi proses timbal balik yang saling kerjasama
dan menghargai
a.
Memiliki tujuan dan fokus kepada klien
b.
Membangun otonomi dan tanggungjawab diri
terhadap klien
c.
Memperhatikan situasi interpersonal
d.
Kesiapan untuk berubah
e.
Menyediakan informasi terkini
f.
Mengembangkan rencana perubahan perilaku
atau rencana aksi
g.
Mengajukan pertanyaan, menyediakan
informasi, mengulas informasi, dan mengembangkan rencana aksi.
Konseling IMS bertujuan untuk
mernbantu pasien mengatasi masalah yang dihadapi sehubungan dengan IMS yang
dideritanya dan pasien mau mengubah perilaku seksual atau perilaku lainnya yang
berisiko menjadi perilaku seksual atau perilaku lainnya yang aman.18
Memberikan konseling pasien IMS
agak berbeda dengan pasien penyakit lain. Hal itu disebabkan klien IMS yang
datang pada dokter atau konselor untuk meminta nasehat disamping mempunyai rasa
takut dan cemas terhadap penyakitnya, juga mempunyai rasa bersalah (guilty feeling), yang sering menimbulkan
kesulitan dalam proses konseling tersebut.17 Penelitian
tentang pencegahan telah membuktikan tentang efektifitas konseling untuk
penurunan risiko dalam menurunkan IMS.22
E.
Langkah-Langkah
Evidence Based
Evidence
adalah sekumpulan fakta yang diyakini benar. External Evidence dihasilkan melalui penelitian yang diteliti
(misalnya, RCT atau cohort study) dan dimaksudkan untuk di
generalisasikan dan digunakan untuk mengambil keputusan.23 Internal evidence biasanya dihasilkan
melalui inisiatif praktik, seperti manajemen hasil atau proyek peningkatan
kualitas yang dilakukan untuk tujuan meningkatkan perawatan klinis. Peneliti
menghasilkan pengetahuan baru melalui penelitian dan EBP menyediakan alat bagi
para klinisi untuk menerjemahkan bukti ke dalam praktik klinis dan
mengintegrasikannya dengan bukti internal untuk meningkatkan kualitas layanan
kesehatan dan hasil.23
|
EBP
sebagai pendekatan pemecahan masalah untuk pemberian perawatan kesehatan yang
terintegrasi dengan bukti terbaik dari sebuah studi yang dirancang dengan baik.
Berikut tujuh langkah dalam penggunaan EBP:23
Langkah
Zero:
Cultivate
a Spirit of Inquiry
Sebelum memulai langkah-langkah EBP sangat penting
menumbuhkan semangat penyelidikan sehingga merasa nyaman dan bersemangat
mengajukan pertanyaan mengenai perawatan pasien. Tanpa budaya yang mendukung
semangat penyelidikan dan EBP, upaya perubahan EBP individu dan organisasi
tidak mungkin berhasil dan berkelanjutan. Elemen kunci dalam budaya EBP antara
lain:
a.
Semangat penelitian dimana semua
professional kesehatan didorong untuk mempertanyakan praktik mereka saat ini
b.
Sebuah filosofi, misi, dan sistem
promosi klinis yang menggabungkan EBP
c.
Seorang mentor EBP yang memiliki
pengetahuan dan ketrampilan dalam EBP membimbing orang lain dan mengatasi
hambatan termasu perubahan individu dan organisasi
d.
Infrastruktur yang menyediakan alat
untuk meningkatkan EBP
e.
Dukungan administrasi dan kepemimpinan
yang menghargai dan memodelkan EBP dan juga menyediakan sumber daya yang
membutuhkan untuk mempertahankannya
f.
Pengakuan berkala terhadap individu dan
kelompok yang secara berkala terhadap individu dan kelompok yang secara
konsisten menerapkan EBP
Langkah
1: Asking the right clinical question
Langkah pertama menuju EBP adalah mengajukan
pertanyaan yang tepat tentang apa yang sebenarnya dan tertarik untuk melakukan
penelitian. Untuk tujuan ini, yang disebut struktur PICO.24
P = Patient or
Problem: siapa yang disebut pasien? Apa karakteristik yang paling penting
dari pasien? Apa masalah utama, penyakit, atau kondisi yang ada.
I = Intervention:
apa intervensi utama yang dipertimbangkan:
C = Comparison:
apa intervensi perbandingan utama?
O = Outcome:
apakah tindakan diantisipasi, perbaikan atau efek.
Langkah
2: Search for the Best Evidence
Pencarian untuk bukti terbaik dimulai dengan
mempertimbangkan unsur-unsur pertanyaan PICO. Setiap kata kunci dari pertanyaan
PICO harus digunakan untuk memulai pencarian. Jenis studi yang akan memberikan
jawaban terbaik untuk intervensi atau pertanyaan pengobatan adalah systematic reviews or meta-analyses, yang
dianggap sebagai tingkat bukti terkuat yang menjadi dasar keputusan pengobatan.23
Sistem peringkat evidence untuk intervensi
Level I: bukti dari systematic review atau
meta-analisis dari semua RCT yang relevan
Level II: bukti diperoleh dari RCT yang dirancang
dengan baik
Level III: Bukti diperoleh dari uji coba terkontrol
yang dirancang dengan baik tanpa
pengacakan
Level IV: Bukti dari studi case-control dan kohort
yang di rancang dengan baik
Level V: Bukti dari tinjauan sistematis studi
deskriptif dan kualitatif
Level VI: bukti daripendapat otoritas dan atau
laporan komite ahli
langkah 3: Critical Appraisal of Evidence
langkah 3 dalam proses EBP sangat penting, karena
memakai critical appraisal terhadap bukti yang diperoleh dari
proses pencarian. Langkah-langkah
critical appraisal dapat di capai secara efisien dengan menjawab 3 pertanyaan
kunci yaitu:
1.
Apakah hasil penelitian ini valid?
validitas yaitu apakah hasil nya dekat dengan kebenaran? Apakah peneliti
melakukan penelitian dengan menggunakan metode terbaik? Sebagai contoh dalam
uji intervensi, akan penting untuk menentukan apakah subjek secara acak sebagai
kelompok perlakuan atau sebagai kelompok control dan apakah mereka sama pada
karakteristik sebelum pengobatan.
2.
Apa hasilnya? Sebagai contoh, dalam uji
coba intervensi, ini termasuk: apakah intervensi bekerja, seberapa besar efek
pengobatan yang diperoleh, apakah dokter dapat mengharapkan hasil yang sama
jika menerapkan intervensi sendiri.
Dalam
studi kualitatif, ini termasuk mengevaluasi apakah pendekatan penelitian sesuai
dengan tujuan penelitian, bersama dengan mengevaluasi aspek-aspek lain dari
penelitian.
3.
Apakah hasilnya membantu dalam merawat
pasien? (penerapan) pertanyaan critical
appraisal mencakup (a) subjek dalam penelitian ini serupa dengan pasien
yang perawatannya diberikan, (b) manfaatnya lebih besar dari pada resiko
pengobatab, (C) pengobatan layak untuk diterapkan dalam pengaturan praktik dan
(d) pasien mengiginkan perawatan. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini
memastikan relevansi dan transferabilitas bukti untuk populasi tertentu untuk
memberikan perawatan. Sebagai contoh, jika tijauan sistematis memberikan bukti
untuk mendukung efek positif dari penggunaan gangguan untuk menguranggi rasa
sakit pada pasien pasca bedah.
Langkah
4: Integrate the Evidence With Clinical Expertise and
Patient Preferences to Make the Best Clinical Decision
Langkah
kunci berikutnya dalam EBP adalah mengintegrasikan bukti terbaik yang ditemukan
dari literature dengan keahlian penyedia layanan kesehatan dan preferensi serta
nilai-nilai pasien untuk mengimplementasikan keputusan.
Langkah 5: Evaluate the Outcomes of the Practice Change
Based on Evidence
Mengevaluasi
inisiatif berbasis bukti dalam hal bagaimana perubahan mempengaruhi hasil
pasien atau seberapa efektif keputusan klinis dengan pasien atau pengaturan
Pratik tertentu. Jenis evaluasi ini sangat penting dalam menentukan apakah
perubahan berdasarkan bukti menghasikan hasil yang diharapkan ketika di
implementasikan dalam praktik klinis dunia nyata.pengukuran hasil penting untuk
menentukan dan mendokumentasikan dampak perubahan EBP pada kualitas layanan
kesehatan dan atau pasien.
Langkah 6: Disseminate the Outcomes of the
Evidence-Based Practice Change
Langkah
terakhir dalam EBP adalah menyebarluaskan hasil dari perubahan EBP. Sangat
penting bagi tenaga kesehatan untuk menyebarluaskan hasil dari perubahan
praktik berdasarkan bukti agar orang lain belajar tentang hasil penelitian dan
mendapatkan manfaat dari penelitian tersebut.
BAB 3
RENCANA RESEARCH UTILIZATION
A. Pencarian
Bukti Penelitian
1. Systematic
Review
Systematic
review adalah sarana mengevaluasi dan
menafsirkan semua penelitian yang tersedia relevan dengan pertanyaan penelitian
tertentu, area topik, atau fenomena yang menarik. Tujuan systematic review untuk
menyajikan evaluasi yang adil dari topik penelitian dengan menggunakan yang
terpercaya, ketat, dan metodologi bisa diaudit.25
a.
Alasan Systematic Review
1)
Untuk meringkas bukti yang ada mengenai
pengobatan atau teknologi misalnya untuk merangkum bukti empiris tentang
manfaat dan keterbatasan metode tertentu.
2)
Untuk mengidentifikasi kesenjangan dalam
penelitian saat ini dalam rangka untuk menunjukkan area untuk penyelidikan
lebih lanjut.
3)
Untuk memberikan kerangka atau latar
belakang untuk secara tepat memposisikan kegiatan penelitian baru.25
b.
Desain Penelitian
Desain
penelitian menggunakan systematic review
dengan komponen dari PRISMA 2009 flow.
B. Langkah-langkah Evidence Based Practice
1. Langkah
1: Asking the right clinical question
P = Populasi Warga Binaan Pemasyarakatan
dengan IMS
I = Program
konseling dengan model information-motivation-behavioral
(IMB)
C = Program konseling tanpa model IMB
O = Penurunan angka IMS di Lapas dalam waktu
6-9 bulan.
2. Langkah
2: Search for the Best Evidence
Pencarian
dilakukan melalui mesin pencarian online
database: Google Scholar, EBSCO, dan ScienDirect. Pencarian artikel kami batasi
yang terbit dari 2009-2019 menggunakan kata kunci “Sexually transmitted infection, Programs, Prison, dan Jail”.
Kriteria
inklusi antara lain: Judul dan abstrak di pilih sesuai dengan kata kunci,
berbahasa inggris, tujuan dan hasil di identifikasi untuk menjamin isi sesuai
dengan tujuan penulisan.
Kriteria
eksklusi antara lain: judul dan abstrak tidak sesuai dengan tujuan, tidak
berbahasa inggris, tidak full-text.
Berdasarkan
hasil penelusuran didapatkan hasil artikel yang sesuai dengan tujuan penulisan
sejumlah sembilan artikel. Berikut daftar artikel yang telah didapatkan:
Table 1. Analysis results of interventions sexually transmitted infection in
Prison or Jail
Author / Years |
Title |
Design |
Intervention |
Result |
Flanigan
et al. (2010) |
Testing
for HIV, Sexually transmitted infections, and viral hepatitis in jails :
Still a missed opportunity for public health and HIV prevention
|
N/A
|
Screening
HIV, dan STI Counseling Treatment
(ART) |
Promoting
screening for infectious disease HIV, STIs is the first step, the next improved
treatment. |
Jafa
et al. (2009) |
HIV
transmission in a State Prison System |
Mix-method |
Screening
HIV Analysis
of inmates risk behavior befor and after HIV diagnosis with ACASI Drug
resistant virus transmission Counseling |
Prisoners
get HIV trough tattoos, IDUs, risk sexual behavior. HIV
strains resistant of the three classes : single class resistant, dual class
resistant, and triple class resistant.
|
Preeti
Pathela et al. (2009) |
The
Contribution of a urine based Jail screening program to citywide male
Chlamydia and Gonorrhea case rates in New York City |
Case
Studies |
Screening Treatment
single dose antibiotic |
Large
number of Chlamydia and gonorrhea case be detected by screening young man in
adult Jail. |
Sandra
A. Springer et al. (2011) |
Public
health implications for adequate transitional care for HIV-infected
prisoners: Five essential components |
N/A |
Treatment
HIV Screening
HIV, STI Counseling MAT
(medical assisted therapy) : enhance adherence to ART
|
Released
prisoners infected with HIV face many challenges. |
Author / Years |
Title |
Design |
Intervention |
Result |
Adeeba
Kamarulzaman et al. (2016) |
Prevention
of transmission HIV, hepatitis B virus, hepatitis C virus, and tuberculosis
in Prison |
N/A |
Provision
information Testing
HIV Counseling NSP OAT
(methadone, burprenorphine) ART
|
Prison
present a high-risk environment for the transmission and amplification of
several infections. Full scale implementation will first need recognition of
the foundamental human rights of prisoners with equitable access to
prevention and treatment service during periods of incarceration. |
Chethan
Bachireddy et al. (2010) |
Attitudes
toward opioid substitution therapy and preincareration HIV transmission
behaviors among HIV infected prisoners in Malaysia: Implication for secondary |
Crossectional
studies |
OST
programs (education and teraphy) Access
NSPs ART |
More
than third (37%) of the sample reported unprotected, the majority of
participants (70%) expressd interest in learning more about OST, only 2%
sample have ever been prescribed ART. |
Tawandra
L. Rowell-Cunsolo, Betsy Szeto, Stephen A. Samponga and Elaine L. Larson (2016) |
Predictors
of sexual behaviour among men and women in New York City area prisons |
Mix
method |
Program
kunjungan suami istri. |
Meskipun
program kunjungan suami istri sangat di dukung oleh para tahanan namun hanya
71 % yang mengikutinya. Penelitian ini juga menyebutkan partisipasi dalam
program tersebut memberikan banyak keuntungan di penjara dan mengurangi |
Author / Years |
Title |
Design |
Intervention |
Result |
|
|
|
|
pemerkosaan
di penjara. |
Jennifer
E. Johnson, Marlanea E. Peabody, Wendee M. Wechsberg, Rochelle K. Rosen,
Karen Fernandes, and Caron Zlotnick |
Feasibility
of an HIV/STI Risk-Reduction Program for Incarcerated Women Who Have
Experienced Interpersonal Violence |
RCT |
Intervensi
psychoeducational terstruktur yaitu memberdayakan dengan memberikan
informasi dan keterampilan pribadi yang akan meningkatkan kesadaran
narapidana. |
Model
pemberdayaan adalah pendekatan bermanfaat bagi korban kekerasan. Intervensi
ini layak dan dapat diterima di penjara.
|
Soodabeh
Navadeh, Ali Mirzazadeh, Mohammad Mehdi Gouya, Marziyeh Farnia, Ramin
Alasvand, Ali- |
HIV
prevalence and related risk behaviours among prisoners in Iran: results of
the national biobehavioural |
RCT |
Wawancara
menggunakan kuesioner terstruktur, mengumpulkan informasi tentang
karakteristik sosiodemografi dan |
Kesimpulannya,
sebelum dan selama penahanan tahapan screening dilakukan. Layanan ini dapat mengurangi dampak buruk |
Akbar
Haghdoost |
survey,
2009 |
|
Terutama
variabel terkait HIV (penggunaan zat, perilaku seksual berisiko, mitra dan
penggunaan kondom, sejarah dan pengobatan penyakit menular seksual, tato,
pengetahuan dan sikap terhadap HIV) Tes
HIV |
yang
berfokus pada perilaku berisiko
|
Beberapa
intervensi yang dijelaskan dari sembilan artikel hasil pencarian bukti
penelitian meliputi program skrining IMS, konseling IMS, psychoeducational, program kunjungan suami atau isteri, provision condom, access NSPs,
pengobatan single dose antibiotic IMS
ataupun resisten obat dan pengobatan ART tahap awal maupun tahap ART resisten
serta kolaborasi pengobatan pada kasus pengguna alkohol atau obat-obatan
seperti metadhone, burprenorphine.
3. Langkah 3: Critical Appraisal of Evidence dengan
menggunakan PARIHS (Promoting Action on Research Implementation
in Health Services)
PARIHS framework
adalah kerangka teori mempromosikan secara luas panduan untuk pelaksanaan
praktik klinis berbasis bukti.26 Kerangka kerja
PARIHS menunjukkan keberhasilan implementasi penelitian sebagai fungsi hubungan
antara evidence (bukti), context (konteks), dan facilitation (fasilitasi). Kerangka
kerja ini menganggap elemen-elemen ini memiliki hubungan yang dinamis dan
simultan. Ada tiga elemen di dalam PARIHS meliputi evidences (bukti), context
(konteks), dan facilitation
(fasilitasi).27 Berikut
penjelasan tiga elemen dan cara penilaian kerangka kerja Parihs:
a. Evidences
(bukti) merupakan sumber informasi tertentu yang relevan dengan EBP tertentu
meliputi penelitian, pedoman yang diterbitkan, pengalaman klinis, pengalaman
pasien, dan informasi praktik lokal. Bukti sebagai kunci pengembangan
implementasi, potensi untuk perubahan praktik.28
b. Context
(konteks) terdiri dari tiga komponen meliputi budaya, kepemimpinan, dan
evaluasi.
1) Budaya
sebagai sarana mengidentifikasi hambatan, strategi implementasi (dukungan
sesuai dengan inovasi yang akan dilaksanakan) dan mengacu pada niai-niai, kepercayaan,
dan sikap bersama oleh anggota organisasi.26,28
2) Kepemimpinan
merupakan individu yang menduduki suatu posisi/jabatan. Kepemimpinan mencakup
kerjasama tim, kontrol, pengambilan keputusan, efektivitas struktur organisasi,
dan isu-isu yang berkaitan dengan pemberdayaan. Tugas dan kepemimpinan menunjukkan
kejelasan peran dan kerjasama tim, serta dilakukan penekan untuk pelaksanaan
yang prima.26,28,29
3) Evaluasi
berkaitan dengan bagaimana organisasi mengukur kinerjanya, apakah ada
ketersediaan umpan balik untuk orang-orang dalam organisasi, serta kualitas dan
pengukuran umpan balik.28 Penerimaan terhadap
inovasi dalam mengembangkan dan mengatur imterpretatif retrospektif untuk
mengeksplor pengaruh yang dirasakan pada fitur kontekstual pada pelaksanaan EBP
yang ditargetkan. Dimensi Konteks mencakup skala mikro (individu), skala meso
(unit atau bagian suatu deprtemen), dan skala makro (departemen atau lembaga
atau instansi atau RS).29
c.
Facilitation
(fasilitasi) sebagai penggambaran dukungan manusia, bimbingan, pelatihan yang
ditawarkan oleh pelatih terlatih, pengembangan pribadi atau transformasi
sistem.28 Fasilitasi
didefinisikan sebagai teknik dimana satu orang membuat segalanya lebih mudah
bagi orang lain yang dicapai melalui dukungan untuk membantu merubah sikap
kebiasaan, keterampilan, cara berfikir, dan bekerja.26 Tujuan
fasilitasi adalah untuk memungkinkan pelaksanaan melalui sumberdaya.29
Berikut penilaian tentang elemen-elemen didalam
PARIHS framework:27
Dalam kerangka kerja
PARIHS keberhasilan implementasi (Success
Implementation/ SI) dipresentasikan
sebagai fungsi (function/f) dari sifat dan tipe bukti (Evidence/E), kualitas konteks (Context/C)
dimana bukti diperkenalkan, dan cara prosesnya difasilitasi (Facilitation/F) jadi SI=f (E,C,F).
Setiap elemen dapat dinilai lemah (peringkat rendah) atau kuat (peringkat
tinggi). Pengaruh negatif atau positif terhadap implementasi sehingga bukti
penelitian layak atau tidak untuk digunakan.28
Table 2. Critical Appraisal PARIHS interventions
sexually transmitted infection
PARIHS |
||||
Title Paper |
Evidences (E) |
Context (C) |
Facilitation
(F) |
Function (f) |
Testing
for HIV, Sexually transmitted infections, and viral hepatitis in jails :
Still a missed opportunity for public health and HIV prevention.
|
-
Well-coceived, designed, and excude research,
appropriate to the research question. -
Seen one part of a decision -
Lack of certainty acknowledge -
Valued as evidance -
Judged as relevant -
Social construction acknowledge -
Conclution drawn -
Important wieght
|
Context : Jail
Culture : Values
individual staff and client, Promotes leraning organization.
Leadership : role
clarity, effective teamwork.
Evaluation : feedback on
system performance, use multiple method clinical and performance. |
Purpose role : sustained
partnership
Skills and attributes : Screening
HIV, dan STI Counseling Treatment
(ART) |
Penilaian: Tinggi Kelayakan: Layak |
HIV
transmission in a State Prison System. |
-
Well-coceived, designed, and excude research,
appropriate to the research question. -
Seen one part of a decision -
Lack of certainty acknowledge -
Valued as evidance -
Judged as relevant -
Social construction acknowledge -
Conclution drawn -
Important weight |
Context : Prison
Culture : Values
individual staff and client, Promotes leraning organization.
Leadership : role
clarity, effective teamwork.
Evaluation : feedback on
system performance, use multiple method clinical and performance. |
Purpose role : sustained
partnership, external agents (NGO)
Skills and attributes : Screening
HIV Analysis
of inmates risk behavior befor and after HIV diagnosis with ACASI Drug
resistant virus transmission Counseling
|
Penilaian: Tinggi Kelayakan: Layak |
Title Paper |
Evidences (E) |
Context (C) |
Facilitation
(F) |
Function (f) |
The
Contribution of a urine based Jail screening program to citywide male Chlamydia
and Gonorrhea case rates in New York City. |
-
Well-coceived, designed, and excude research,
appropriate to the research question. -
Seen one part of a decision -
Lack of certainty acknowledge -
Valued as evidance -
Judged as relevant -
Social construction acknowledge -
Conclution drawn -
Important weighted
|
Context : Jail
Culture : Values
individual staff and client, Promotes leraning organization.
Leadership : role
clarity, effective teamwork.
Evaluation : feedback on
system performance, use multiple method clinical and performance. |
Purpose role : sustained
partnership
Skills and attributes : Screening Treatment
single dose antibiotic |
Penilaian: Tinggi Kelayakan: Layak |
Public
health implications for adequate transitional care for HIV-infected
prisoners: Five essential components
|
-
Well-coceived, designed, and excude research,
appropriate to the research question. -
Seen one part of a decision -
Lack of certainty acknowledge -
Valued as evidance -
Judged as relevant -
Social construction acknowledge -
Conclution drawn -
Important wieght
|
Context : Prison
Culture : Values
individual staff and client, Promotes leraning organization.
Leadership : role
clarity, effective teamwork.
Evaluation : feedback on
system performance, use multiple method clinical, performance and economic. |
Purpose role : sustained
partnership
Skills and attributes : Treatment
HIV Screening
HIV, STI Counseling MAT
(medical assisted therapy) : enhance adherence to ART Reducing
HIV risk behavior : tenofovir microbocide oral for man, tenoforvir
microbocide vaginal gel for women.
|
Penilaian: Tinggi Kelayakan: Layak |
Title Paper |
Evidences (E) |
Context (C) |
Facilitation
(F) |
Function (f) |
Testing
for HIV, Sexually transmitted infections, and viral hepatitis in jails :
Still a missed opportunity for public health and HIV prevention.
|
-
Well-coceived, designed, and excude research,
appropriate to the research question. -
Seen one part of a decision -
Lack of certainty acknowledge -
Valued as evidance -
Judged as relevant -
Social construction acknowledge -
Conclution drawn -
Important wieght
|
Context : Jail
Culture : Values
individual staff and client, Promotes leraning organization.
Leadership : role
clarity, effective teamwork.
Evaluation : feedback on
system performance, use multiple method clinical and performance. |
Purpose role : sustained
partnership
Skills and attributes : Provision
information Testing
HIV Counseling NSP OAT
(methadone, burprenorphine) ART |
Penilaian: Tinggi Kelayakan: Layak |
Prevention
of transmission HIV, hepatitis B virus, hepatitis C virus, and tuberculosis
in Prison.
|
-
Well-coceived, designed, and excude research,
appropriate to the research question. -
Seen one part of a decision -
Lack of certainty acknowledge -
Valued as evidance -
Judged as relevant -
Social construction acknowledge -
Conclution drawn -
Important weight |
Context : Prison
Culture : Values
individual staff and client, Promotes leraning organization.
Leadership : role
clarity, effective teamwork.
Evaluation : feedback on
system performance, use multiple method clinical and performance. |
Purpose role : sustained
partnership
Skills and attributes : OST
programs (education and teraphy) Access
NSPs ART |
Penilaian: Tinggi Kelayakan: Layak |
Feasibility
of an HIV/STI Risk-Reduction Program for Incarcerated |
-
Well-coceived, designed, and excude research,
appropriate to the research |
Context : Prison
Culture : Values
individual staff and client, Promotes leraning |
Purpose role : sustained
partnership
Skills and attributes : |
Penilaian: Tinggi Kelayakan: Layak |
Title Paper |
Evidences (E) |
Context (C) |
Facilitation
(F) |
Function (f) |
Women
Who Have Experienced Interpersonal Violence |
question. -
Seen one part of a decision -
Lack of certainty acknowledge -
Valued as evidance -
Judged as relevant -
Social construction acknowledge -
Conclution drawn -
Important weight |
organization.
Leadership : role
clarity, effective teamwork.
Evaluation : feedback on
system performance, use multiple method clinical and performance. |
Intervensi
psychoeducational terstruktur yaitu
memberdayakan dengan memberikan informasi dan keterampilan pribadi yang akan
meningkatkan kesadaran narapidana |
|
HIV
prevalence and related risk behaviours among prisoners in Iran: results of
the national biobehavioural survey, 2009
|
-
Well-coceived, designed, and excude research,
appropriate to the research question. -
Seen one part of a decision -
Lack of certainty acknowledge -
Valued as evidance -
Judged as relevant -
Social construction acknowledge -
Conclution drawn -
Important weight |
Context : Prison
Culture : Values
individual staff and client, Promotes leraning organization.
Leadership : role
clarity, effective teamwork.
Evaluation : feedback on
system performance, use multiple method clinical and performance. |
Purpose role : sustained
partnership
Skills and attributes : Wawancara
menggunakan kuesioner terstruktur, mengumpulkan informasi tentang
karakteristik sosiodemografi dan terutama variabel terkait HIV (penggunaan
zat, perilaku seksual berisiko, mitra dan penggunaan kondom, sejarah dan
pengobatan penyakit menular seksual, tato, pengetahuan dan sikap terhadap
HIV, Tes HIV |
Penilaian: Tinggi Kelayakan: Layak |
4.
Langkah 4 : Integrate the Evidence With
Clinical Expertise and Patient Preferences to Make the Best Clinical Decision
Dari hasil penulusuran systematic review dan penilaian terhadap bukti penelitian menggunakan PARIHS framework didapatkan salah satu program
IMS yaitu konseling. Konseling sebagai program penatalaksanaan IMS di Lapas
perlu buti penelitian sebagai sarana meningkatkan praktik klinis berdasarkan
bukti sebagai intervensi. Dalam konteks Lapas perawat sebagai penyedia layanan
kesehatan utama dituntut memiliki
pengetahuan dan keahlian yang solid dengan mencakup penggunaan bukti penelitian
dalam pengambilan keputusan klinis. Bukti penelitian diperlukan untuk
mengoptimalkan praktik keperawatan dan mempromosikan hasil kesehatan positif.30
Konteks Lapas sebagai lingkungan
yang menantang dalam memberikan pelayanan kesehatan yang merata. Infrastruktur
penjara dan kategori keamanan memiliki dampak langsung pada cara layanan
kesehatan dapat dikirim ke tahanan. Lapas penekanan pada kebutuhan perawatan
mengintegrasikan kerjasama multi disiplin dengan melakukan kolaborasi dan
koordinasi antar profesional dan lintas batas organisasi.31 Suatu
pendekatan kemitraan di semua tingkatan untuk mencapai perbaikan secara terus
menerus dalam menjamin kualitas.32
Staf yang optimal merupakan
komponen penting dari lingkungan kerja yang sehat, model perawatan berbasis tim
teridentifikasi sebagai model yang sangat efektif dan efisien. Strategi inovasi
yang menggabungkan hasil penelitian terbaik dan pendekatan kolaborasi tim
memberikan peluang terbesar untuk mengatasi hambatan perawatan dan menigkatkan
kepuasan pasien.33 Selain
pengetahuan dan bukti penelitian perawat pemasyarakatan juga dihadapkan pada
aspek peraturan dan hokum.34
Peraturan tentang penyelenggaraan
konseling meliputi (1) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi,
dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5542); (3) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun
2014 tentang Kesehatan Reproduksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5559); (4)
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 585) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 35 Tahun 2013 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 741);
(5) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2014 tentang
Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV; (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan; dan (7) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999
tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung
Jawab Perawatan Tahanan.
5. Langkah
5: Evaluate the outcomes of the practice
change based on evidence
Upaya meningkatkan kompetensi
perawat pemasyarakatan perlu adanya fasilitasi seperti seminar dan workshop
atau pelatihan akan tetapi banyak perawat pemasyarakatan mengalami isolasi
sosial profesional dan kesempatan untuk berbagi pengetahuan baru. Banyak temuan
penelitian dan berbagai contoh praktek yang baik dari sejawat perawat yang
bekerja diluar Lapas. Seiring dengan antusiasme awal untuk perubahan, harus ada
kemauan untuk melanjutkan. Organisasi perlu memiliki staf termotivasi dengan
baik dan tidak ada cara yang lebih baik merangsang antusiasme dengan melibatkan
staf dalam perubahan yang terjadi atau yang direncanakan bagi organisasi. Jika
perawat harus dipertahankan di pelayanan Lapas, maka penting untuk induksi dan
dukungan pada staf baru. Untuk menjaga staf tetap termotivasi, manajer perlu
memastikan bahwa kesempatan pendidikan tersedia untuk meningkatkan pengetahuan,
penghargaan terhadap staf, dan lebih mampu memahami perubahan yang terjadi.35
Konseling bisa menggunakan konselor
yang memiliki kualifikasi master, perawat klinik berlisensi, dan seorang
pendidik dengan gelar sarjana. Setiap konselor terlatih dalam intervensi dan
konseling dasar. Untuk menjadi konselor bisa dilakukan pelatihan secara
intensif dengan pertemuan 2 jam dalam seminggu dengan expert psikolog klinis selama 4 minggu.36 Konseling model
information-motivation-behavioral
(IMB) didasarkan pada model perubahan perilaku kesehatan. Model IMB menyatakan
bahwa informasi pencegahan penyakit sebagai prekusor yang diperlukan untuk
pengurangan resiko. Motivasi untuk perubahan, bagaimanapun juga secara tidak
langsung motivasi mempengaruhi perilaku sesorang setelah mendapatkan informasi
tentang resiko penyakit sehingga terjadi pengurangan perilaku yang beresiko.
Dan keterampilan perilaku sebagai jalur akhir setelah informasi dan motivasi
untuk menghasilkan perilaku pencegahan. Penelitian yang dilakukan Belcher et al
menunjukkan hasil bahwa selam 2 jam intervensi konseling pengurangan resiko
dengan komponen IMB penuh dapat menurunkan praktik seksual beresiko tinggi
diantara perempuan resiko IMS dan HIV.37,38
Pembiayaan pelayanan kesehatan
reproduksi bagi WBP kelompok usia dewasa di Lapas dapat dilakukan melalui
beberapa sumber pembiayaan, baik APBN (Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum
dan HAM, Kementerian Sosial, BPJS Kesehatan), APBD (Pemerintah Daerah Provinsi,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota), dana pihak ketiga (perusahaan, filantropi,
lembaga swadaya masyarakat, mitra pembangunan), maupun pembiayaan mandiri (out of pocket).39
6. Langkah 6: Disseminate
the Outcomes of the Evidence-Based Practice Change
Konseling dengan model information-motivation-behvioral (IMB)
sebagai tatalaksana program IMS yang penulis rekomendasikan untuk digunakan
dalam program penatalaksanaan IMS di Lapas. Sebagai upaya untuk mengurangi
angka IMS di Lapas.
C. Pengembangan
Protokol atau Prosedur
Konseling
Infeksi Menular Seksual (IMS) |
|||||||||
Pengertian |
Konseling merupakan proses dialog
antara konselor dengan pasien/klien atau antara petugas kesehatan dengan
pasien yang bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas dan dapat
dimengerti oleh pasien atau klien. Konselor memberikan waktu dan perhatian,
untuk membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan
pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. |
||||||||
Tujuan |
Tujuan
pelaksanaan kegiatan ini adalah 1.
Agar WBP patuh minum obat atau mengobati sesuai
dengan ketentuan. 2.
Agar WBP kembali untuk follow up secara teratur sesuai dengan jadwal yang ditentukan. 3.
Meyakinkan pentingnya pemeriksaan mitra seksual,
serta turut berusaha agar mitra tersebut bersedia diperiksa dan diobati bila
perlu. 4.
Mengurangi risiko penularan 5.
Agar WBP tanggap dan memberikan respons cepat
terhadap infeksi atau hal yang mencurigakan setelah hubungan seks. |
||||||||
Peraturan |
1.
Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 2.
Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 3.
Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan. 4.
Pasal
27 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV
dan AIDS. |
||||||||
Prosedur |
Persiapan: 1.
Petugas
melakukan konseling sesuai dengan kegiatan perencanaan BOK. 2.
Petugas
mempersiapkan tempat dan sarana. 3.
Petugas
mempersiapkan materi, alat bantu konseling, dan jadwal pelaksanaan. 4.
Petugas
mengundang kader kesehatan, WBP dengan IMS. 5.
Petugas
mempersiapkan tim pelaksana penyuluhan. Pelaksanaan:
1.
Petugas
melakukan pencatatan data klien. 2.
Petugas
melakukan curah pendapat tentang IMS 3.
Petugas
memberikan konseling tentang IMS a.
Memberi informasi yang dapat memberi kejelasan dan
pemahaman pada klien b.
Dapat menjawab pertanyaan klien dengan jujur dan
terbuka c.
Mampu menyadarkan klien perlunya berperilaku
arnan, untuk tidak menularkan pada orang lain d.
Mampu membuat klien
sanggupmembuatkeputusanbagidirinya sendiri 4.
Petugas
melakukan evaluasi pelaksanaan pertemuan. 5.
Petugas
memberitahu klien jadwal pertemuan yang akan datang. Pencatatan
dan pelaporan: Petugas melakukan pencatatan
dan pelaporan kegatian setelah melaksanakan kegiatan konseling. |
||||||||
Dokumen
terkait |
Buku harian WBP |
||||||||
Rekaman
historis perubahan |
|
BAB
4
PEMBAHASAN
Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)
dalam sistem pemasyarakatan mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan reproduksi. Pada saat baru masuk ke Lapas,
WBP perlu mendapatkan penapisan kesehatan (screening
in) yang bertujuan untuk mendapatkan
data dasar status kesehatan Tahanan dan WBP serta deteksi dini penyakit dan
faktor risiko kesehatan yang memerlukan tata laksana dan tindak lanjut selama
masa penahanan atau pembinaan. Pemeriksaan kesehatan bagi Tahanan dan WBP baru
dilaksanakan pada saat masuk Lapas hingga selama masa pengenalan lingkungan (mapenaling).39
Setelah WBP dilakukan skrining
penyakit maka perlu tindak lanjut dengan pendekatan konseling yang bertujuan
untuk mencapai universal access,
dengan menghilangkan stigma dan diskriminasi, serta mengurangi missed opportunities pencegahan penularan infeksi. Konseling merupakan
pintu masuk utama pada layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan.40
Konseling mengidentifikasikan hubungan profesional
antara konselor terlatih dengan klien. Hubungan ini bersifat individu ke
individu, walaupun terkadang melibatkan lebih dari satu orang. Konseling
mencakup bekerja dengan banyak orang dan hubungan yang mungkin saja bersifat
pengembangan diri, dukungan terhadap krisis, bimbingan atau pemecahan masalah.41
Strategi konseling telah terbukti
mampu merubah pengetahuan, sikap pasien, dan keyakinan tentang perawatan medis
dan untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam kerumitan rejimen obat.42 Baik dari segi
efektivitas biaya dan skalabilitas, itu akan menjadi penting dalam menentukan
siapa yang terbaik dalam memberikan konseling. Intervensi rekan sebaya dapat
terjangkau dan dapat diterima, namun, bisa saja intervensi dilakukan oleh
konselor terlatih secara professional, meskipun membutuhkan biaya lebih. Hal
ini bisa lebih efektif dan dapat ditiru terutama jika intervensi tersebut
divalidasi dan diberikan dalam format manual.43
Hasil penelitian yang dilakukan
Kalichman et al pada tahun 2001 didapatkan hasil bahwa konseling pengurangan
resiko yang relative singkat dapat memiliki efek positif pada perilaku seksual
beresiko pada orang yang terdiagnosis IMS dan pengobatan. Konseling pengurangan
resiko muncul untuk mepengaruhi berlakunya pengurangan perilaku baru dan
tingkat hubungan seks tanpa kondom. Hasil positif yang paling jelas untuk
laki-laki dan paling konsisten pada 3 bulan dan 6 bulan follow-up. Hasil ini
menambahkan bahwa semakin banyak literatur yang disampaikan secara singkat,
terfokus, secara teoritis beralasan, dan intervensi pengurangan resiko seksual
yang sudah ditargetkan dapat mengakibatkan perubahan perilaku yang bermakna.44
Konseling bagi pasien IMS merupakan
peluang penting untuk dapat sekaligus memberikan edukasi tentang pencegahan
infeksi HIV pada seseorang yang berisiko terhadap penyakit tersebut. Kelompok
remaja merupakan kelompok sasaran khusus dan penting dalam upaya pencegahan
primer sebab seringkali kehidupan seksual dan reproduktif mereka berisiko.
Umumnya mereka tidak menyadari risiko yang mereka hadapi untuk tertular IMS.16
Konseling sebagai pengurangan
perilaku beresiko untuk pencegahan dalam pengaturan klinis sebagai prioritas
kesehatana masyarakat, dan program-program berbasis klinik.45,46 Hasil
penelitian menunjukkan bahwa peserta yang meneria dua sesi singkat konseling
pengurangan resioko dibuktikan pengurangan 30% IMS baru selama 6 bulan dan
pengurangan 20% selama 12 bulan dibandingkan dengan peserta yang menerima
beberapa menit dari pesan informasi didaktik.47
Kalichman et al melakukan
penelitian tentang konseling dengan model information-motivation-behavioral
(IMB) dibagi menjadi empat kondisi satu kondisi berisi komponen lengkap IMB
yaitu informasi, motivasi, dan perilaku, dan tiga kondisi lainnya yang
disampaikan dalam waktu 90 menit. Kondsi diberikan informasi dan motivasi (IM),
ketrampilan informasi-perilaku (IB) dan tambahan penyajian video singkat yang
disajikan dalam format Tanya jawab masing-masing waktu 30 menit. Materi yang
diberikan konselor dalam intervensi terdiri dari informasi tentang penularan,
perilaku berisiko, proses penyakit, prevalensi penyakit, dan klarifikasi
pemahaman missal tetang mitos menghilangkan penyakit HIV/AIDS dijelaskan
mengenai tes antibody HIV/AIDS. Pendidikan disampaikan denga menggunakan gaya
didaktik, tabletop flipchart, materi visual
untukmengambarkan konsep-konsep kunci, kegiatan interaktif untuk mitos tentang
penyakit dan salah informasi, informasi tentang pilihan tes penyakit HIV dan
penyakit IMS lainnya.36
Konselor bersama peserta terlibat
dalam analisis fungsional perilaku beresiko, mengajarkan peserta untuk
mengidentifikasi isyarat lingkungan, pemahaman dan respon stimulus yang dapat
memicu untuk perilaku beresiko tinggi. Peserta diminta untuk memikirkan
cara-cara untuk mengelola pemicu yang dapat meyebabkan resiko pribadi dan
diajarkan strategi untuk mengurangi resiko dengan mengalihkan dengan kegiatan
seksual terhadap alternatif seks yang lebih aman seperti membawa kondom dan
menghindari seks setelah mium atau menggunakan obat-obatan. Komponen
ketrampilan perilaku termasuk latihan bermain peran ketrampilan pengurangan
resiko, penggunaan kondom laki-laki maupun perempuan juga diajarkan dengan
tepat.36
Hasil penelitian yang dilakukan
Kalichman et al pada tahun 2005 pada peserta konseling model IMB penuh dengan
pendekatan konseling pengurangan resiko menunjukkan keterampilan yang membangun
manfaat besar, menurunkan hubungan seksual tanpa pelindung, dan mengalami
penurunan IMS. Pola paling konsisten hasil positif terjadi dalam 6 bulanpertama
setelah intervensi dengan banyak efek menghilang dengan 9 bulan follow-up. Dengan demikian sesuai dengan
hipotesis bahwa konseling model IMB penuh menunjukkan hasil yang paling efektif
meskipu durasi relatif singkat.36
BAB 5
PENUTUP
A. SIMPULAN
Penyakit infeksi menular seksual (IMS) sangat dekat
sekali dengan penyakit HIV/AIDS, sebagai upaya pencegahan maka diperlukan
adanya usaha untuk mengatasinya. Lapas sebagai tempat bertemunya orang-orang
yang memiliki riwayat perilaku sosial yang bermacam-macam dan beberapa WBP
harus bertahan di Lapas dengan rentang waktu yang cukup lama. WBP yang masuk ke
Lapas memiliki banyak riwayat kesehatan salah satunya IMS.
Sebagai usaha untuk menanggulangi IMS maka perlunya
program konseling yang matang sebagai mana yang sudah dibuktikan berdasarkan
hasil penelitian yaitu konseling dengan model information-motivation-behavioral (IMB). Program konseling ini bisa
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang ada di Lapas salah satunya perawat.
Perawat sudah dibekali pengetahuan, dan keterampilan untuk melakukan perawatan
kesehatan salah satunya penyuluhan dan konseling. Upaya meningkatkan
keterampilan perawat dalam melakukan konseling maka perlu dilakukan fasilitasi
pelatihan atau workshop tentang pendekatan konseling. Oleh karenanya perlun
pihak Lembaga atau Kementrian atau para pengambil kebijakan untuk memfasilitasi
kegiatan tersebut. Hal ini tentu didasarkan pada bukti penelitian bahwa
konseling dapat menurunkan angka kejadian IMS.
B.
SARAN
Perlunya
perhatian khusus terhadap tenaga kesehatan yang ada di Lapas untuk difasilitasi
dalam meningkatkan pengetahuan dan kompetensinya sebagaimana tenaga kesehatan
yang berkerja di luar Lapas, sehingga upaya perawatan kesehatan WBP menjadi
optimal.
Referensi:
1. Alfitri
R, Demartoto A, Pamungkasari EP, Kedokteran F, Sebelas U, Surakarta M. Jurnal
siklusvolume 7 Nomor 1 Januari 2018 analisis kontex dalam cipp (
contex,input,proces,product )pada program skrining infeksi menualar sexual
dengan voluntarycounseling and testing bagi nara piudana di lembaga
pemasyrakatan wanita kelas 2. 2018;7:257–62.
2. Center for Disease Control
Prevention. Sexually transmitted disease surveillance 2004. Atalanta, Georgia:
Departement of Health and Human Service; 2005.
3. Verneuil L, Vidal J, Bekolo
RZ, Vabret A. Prevalence and risk factors of the whole spectrum of sexually
transmitted diseases in male incoming prisoners in France. Eur J Clin Microbiol
Infect Dis. 2009;28:409–13.
4. Solomon L, Flynn C, Muck K,
Vertefeuille J. Prevalence Of HIV , Syphilis , Hepatitis B , and Hepatitis C
Among Entrants to Maryland Correctional Facilities Prevalence Of HIV , Syphilis
, Hepatitis B , and Hepatitis C Among Entrants to. J Urban Heal.
2004;81(1):412.
5. Khan, Richard H., Chow JM,
Boudov MR, Brock J, Tulloch S. Chlamydia trachomatis and Neisseria gonorrhoeae
Prevalence and Coinfection in Adolescents Entering Selected US Juvenile
Detention Centers , 1997 – 2002. Sex Transm Dis. 2005;32(4):255–9.
6. Hall H, Song R, Rhodes P,
Incidence HI V, Group S, Hall HI, et al. Estimation of HIV incidence in the
United States. J Am Med Assoc. 2008;300(5):520–9.
7. Culbert GJ, Waluyo A,
Iriyanti M, Muchransyah AP, Kamarulzaman A, Altice FL. Within-prison drug
injection among HIV-infected male prisoners in Indonesia : A highly constrained
choice. Drug Alcohol Depend [Internet]. 2015;149:71–9. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.drugalcdep.2015.01.018
8. Izenberg J, Bachireddy C,
Wickersham JA, Soule M, Kiriazova T, Dvoriak S, et al. Within-Prison drug
injection among HIV-infected Ukrainian Prisoners: Prevalence and correlates of
an extremely high-risk behaviour. Int J Drug Policy [Internet]. 2014; Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.drugpo.2014.02.010
9. Yang S, Xu K, Deng M, Tian
G, Ding C, Cao Q, et al. Transmission of hepatitis B and C virus infection
through body piercing. 2015;94(47):1–14.
10. Richters J, Butler T,
Schneider K. Consensual sex between men and sexual violence in Australian
Prisons. J Arch Sex Behav. 2010;41(August):517–24.
11. Kesehatan F, West U, Hill B,
Harris F, Kesehatan F, West U, et al. Sebuah tinjauan kesehatan penjara dan
implikasinya bagi keperawatan perawatan primer di Inggris dan Wales : bukti
penelitian. 2007;1201–9.
12. Sabol WJ, Ph D, West HC, Ph
D, Statisticians BJS, Cooper M, et al. Bureau of Justice Statistics Prisoners
in 2008. 2010;1–46.
13. Flanigan TP, Zaller N,
Beckwith CG, Bazerman LB, Rana A, Gardner A, et al. Testing for HIV , sexually
transmitted infections , and viral hepatitis in Jails : Still a missed
opportunity for Public Health and HIV prevention. J Acquir Immune Defic Syndr.
2010;55(2):78–83.
14. Gross G. Sexually
Transmitted Infections and Sexually Transmitted Diseases. Tyring SK, editor.
Springer. London New York: Verlag Berlin Heidelberg; 2011. 3–10 p.
15. Navadeh S, Mirzazadeh A,
Gouya MM, Farnia M, Alasvand R, Haghdoost AA. HIV prevalence and related risk
behaviours among prisoners in Iran: Results of the national biobehavioural
survey, 2009. Sex Transm Infect. 2013;89(SUPPL. 3):33–7.
16. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Pedoman nasional penanganan infeksi menular seksual.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, editor.
Jakarta; 2016. 2–117 p.
17. Barakbah J. Konseling
infeksi menular seksual. Dalam: Daili SR Makes WIB. 4th ed. Zubier F, editor.
Jakarta: FKUI; 2014. 256–261 p.
18. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Modul Pelatihan Tes dan Konseling HIV/AIDS. Peran konseling
dan tes HIV dalam dalam pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan.
Jakarta: Bakti Husada; 2014.
19. Kementrian Kesehatan RI.
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Penanganan
Infeksi Menular Seksual. Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE) dan Konseling
Pada Pasien IMS. Jakarta: Bakti Husada; 2011. p. 61–70.
20. Kementrian Kesehatan RI.
Modul Pelatihan Tes dan Konseling HIV/ AIDS. Konseling HIV dalam strategi
komuniasi perubahan perilaku. Jakarta: Bakti Husada; 2014.
21. Utama H. Infeksi menular
seksual. 5th ed. Sjaiful Fahmi Daili dkk, editor. Jakarta: FKUI; 2017.
22. Rietmeiier CA. Risk
reduction counseling for preventioan of sexually transmitted infections. Sex
Transm Infect. 2007;83(1):2–9.
23. Melnyk BM, Overholt EF.
Evidence-Based Practice in Nursing and Healthcare A Guide to Best Practice. 2nd
ed. Surrena H, editor. Vol. 13, Quality Management in Health Care. Philadelphia:
Wolters Kluwer Health Lippincott Williams & Wilkins. Copyright; 2011. 291
p.
24. Isaksen J. Práctica basada
en la evidencia: pasos hacia una práctica clÃnica mejor. Rev Logop Foniatr y
Audiol. 2017;37(4):172–9.
25. Kitchenham B. Procedures for
performing systematic reviews. 1st ed. United Kingdom: Joint Technical Report;
2004. 1–2 p.
26. Helfrich CD, Li Y, Sharp ND,
Sales AE. Organizational readiness to change assessment ( ORCA ): Development
of an instrument based on the Promoting Action on Research in Health Services (
PARIHS ) framework. BioMed Cent. 2009;4(38):2.
27. Malone JR. The PARIHS
Framework — A Framework for Guiding the Implementation of. J Nurs Care Qual.
2004;19(4):300–4.
28. Stetler CB, Damschroder LJ,
Helfrich CD, Hagedorn HJ. A Guide for applying a revised version of the PARIHS
framework for implementation. BioMed Cent. 2011;6(99):3,6.
29. Rycroft-malone J, Seers K,
Chandler J, Hawkes CA, Crichton N, Allen C, et al. The role of evidence ,
context , and facilitation in an implementation trial : implications for the
development of the PARIHS framework. Implement Sci. 2013;8(28):1–13.
30. Almost J, Gifford WA, Doran
D, Ogilvie L, Miller C, Rose DN, et al. Correctional nursing : a study protocol
to develop an educational intervention to optimize nursing practice in a unique
context. Implement Sci [Internet]. 2013;8(1):1. Available from: Implementation
Science
31. Hek G. Unlocking potential :
challenges for primary health care researchers in the prison setting.
2006;91–4.
32. Executive S. Delivering
care, enabling health. 2006. 14 p.
33. ANA. Nursing Scope and
Standards of Practice, 3rd Edition. 2015. 23 p.
34. Coll Cámara A. El Fenomen de
la Infermeria Penitencià ria : Una proposta formativa [Internet]. 2014. 460 p.
Available from: http://hdl.handle.net/10803/146138
35. Norman A, Parrish A. Prison
Health Care : Work Environment and the Nursing Role. Br J Nurs.
1999;8(10):653-656 (655).
36. Kalichman SC, Cain D,
Weinhardt L, Benotsch E, Presser K, Zweben A, et al. Experimental components
analysis of brief theory-based HIV/AIDS risk-reduction counseling for sexually
transmitted infection patients. Am Psychol Assoc. 2005;24(2):198–208.
37. Belcher L, Kalichman S,
Topping M, Smith S, Emshoff J, Morris F, et al. A Randomized trial of a brief
HIV risk reduction counseling intervention for women. J Consult Clin Psychol.
1998;66(5):856–61.
38. Fisher JD, Fisher WA.
Changing AIDS - Risk behavior. Psychol Bull. 1992;111(3):455–74.
39. Direktorat Jendral Kesehatan
Masyarakat KKR. Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Reproduksi bagi Warga
Binaan Pemasyarakatan Usia Dewasa. J Chem Inf Model. 2013;53(9):31–92.
40. Mentri Kesehatan RI. Pedoman
pelaksanaan konseling dan tes HIV. Jakarta; 2014. p. 7&13.
41. Luddin ABM. Dasar-dasar
konseling: Tinjauan teori dan praktik. 1st ed. Dedi Andri Hasibuan, editor.
Bandung: Citapustaka Media Perintis; 2010. 16–17 p.
42. Leeman J, Chang YK, Lee EJ,
Voils CI, Crandell J, Sandelowski M. Implementation of antiretroviral therapy
adherence interventions: a realist synthesis of evidence. J Compil. 2010;
43. Springer SA, Spaulding AC,
Meyer JP, Altice FL. Public health implications for adequate transitional care
for HIV-infected prisoners : Five essential components. Clin Infect Dis. 2011;53.
44. Kalichman, S. C., DiFonzo,
K., Kyomugsha, F., Simpson, D., Presser, K., & Bjordstrom B. When briefer
can be better: Single session approaches to HIV risk reduction interventions.
Interam J Psychol. 2001;35:41–58.
45. Centers for Disease Control
and Prevention. Incorporating HIV prevention into the medical care of people
living with HIV. Morbidity and mortality weekly report. 52nd ed. Atalanta,
Georgia: Departement of Health and Human Service; 2003. 1–24 p.
46. Scholes, D., McBride, C.,
Grothaus, L., Civic, D., Ichikawa, L., & Yarnall K. A tailored minimal
self-help intervention to promote condom use in young women: Results from a
randomized trial. AIDS. 2003;57:1547–1556.
47. Kamb, M., Fishbein, M.,
Douglas, J., Rhodes, F., Rogers, J., Bolan, G.
et al. Efficacy of risk-reduction counseling to prevent Human
Immunodeficiency Virus and sexually transmitted diseases. 1998;1161–1167.
Iron-Coated Sitemap - Titanium's Necklace, Necklace
ReplyDeleteIron-Coated Sitemap - Titanium's Necklace, Necklace, 3 x 1 x 1 1 inches. titanium legs Material, Aluminum, Nickel, Ceramic, White.Material: ceramic vs titanium Aluminum, Nickel, Nickel, Aluminum AlloyWeight: 1.8 oz Rating: 5 · 2020 ford ecosport titanium 1 review · $18.95 polished titanium · In stock titanium keychain