BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Salah
satu permasalahan kesehatan yang menjadi perhatian dunia ialah permasalahan
leptospirosis karena angka kejadian penyakit ini rendah namun dilaporkan
dibeberapa Negara besar. Penyakit leptospirosis masih sedikit diagnosis klinis
dan belum adanya alat diagnosis sehingga kejadian penyakit leptospirosis tidak
bisa diketahui secara dini. Meskipun begitu kondisi daerah tropic yang basah
diperkirakan terdapat kasus penyakit leptospirosis sebanyak ≥ 10 kejadian
setiap 100.000 penduduk tiap tahun. Prevalensi tertinggi penyakit leptospirosis
berada di wilayah Afrika sebanyak 95,5/100.000 penduduk, selanjutnya wilayah West Pacific
66,4/100.000 penduduk, Amerika 12,5/100.000 penduduk, Asia Tenggara 4,8/100.000
penduduk, dan wilayah Eropa 0,5/100.000 penduduk. Diaporkan kebanyakan kasus
mempunyai prognosis yang buruk dan mortality
rate > 10%.1
Berdasarkan
laporan International Leptospirosis Society (ILS) Indonesia adalah negara yang memiliki angka kejadian
leptospirosis peringkat ketiga setelah negara China dan India. Data case fatality rate (CFR) didapatkan 2,5%
sampai 16,45% atau memiliki rata-ratanya mencapai 7,1%. Para penderita
leptospirosis dengan umur > 50 tahun CFR bisa sampai 56%.
Data kejadian penyakit leptospirosis di Indonesia pada tahun 2013 sampai dengan
bulan Februari 2014 telah mencapai 630 kejadian dan mengakibatkan 57 penderita meninggal
dunia. Penyebaran kejadian penyakit leptospirosis terdapat pada 5 Provinsi
endemis pada tahun 2004 hingga 2013 diantaranya Jakarta, Jawa Timur,
Jogjakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.2 Kasus
leptospirosis pada tahun 2014 sebanyak 550 kejadian dan pada tahun 2015 sebanyak
630 kejadian, hal ini terjadi penurunan angka kejadian. Akan tetpi, angka kejadiannya
terjadi peningkatan pesat di tahun 2016 sebesar 833 kejadian.3 Permasalahan
penyakit leptospirosis menjadi perhatian pemerintah Indonesia untuk dilakukan
penanganan yang tepat dan baik sebagai upaya menekan angka kejadian penyakit
tersebut. Oleh karena itu, permasalahan ini akan dibahas dalam makalah ini
sebagai sarana pengembangan mata kuliah epidemologi dan demografi.
B.
Tujuan
Penulisan
1.
Tujuan Umum
Mengeksplor
distribusi dari penyakit Leptospirosis dengan menggunakan pendekatan triangle epidemiologi.
2. Tujuan
Khusus
a. Mendeskripsikan
penyakit.
b. Mengeksplor
tahapan alamiah penyakit.
c. Mengeksplor
trias epidemiologi penyakit.
d. Mengeksplor
pencegahan penyakit.
e. Mendeskripsikan
penyakit leptospirosis.
f. Mengeksplor
pencegahan penyakit leptospirosis.
g. Mengeksplor
trias epidemiologi penyakit leptospirosis.
h. Menerapkan
epidemiologi penyakit lesptospirosis sesuai dengan keperawatan komunitas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Konsep
Riwayat Alamiah Penyakit
1.
Pengertian
Penyakit merupakan kondisi patobiologi yang ditandai
adanya kelainan morfologi dan atau fungsi pada organ dan atau sistem jaringan
tubuh.4 Lingkungan
merupakan segala sesuatu (benda hidup, mati, abstrak, nyata) beserta kondisi
yang terbentuk karena elemen-elemen yang saling berinteraksi di alam tersebut.4 Penyakit
berbasis lingkungan ialah kondisi patologis yang ditandai adanya kelainan
fungsi atau morfologi pada organ tubuh yang disebabkan karena manusia
berinteraksi dengan berbagai hal yang memiliki potensi penyakit.4
2.
Fase
Alamiah Penyakit Tahap Perjalanan
Pemaparan riwayat alamiah penyakit sebagai salah
satu tujuan dari studi epidemiologi deskriptif. Istilah lain yang sering
digunakan pada riwayat alamiah penyakit, diantaranya: natural course of disease, natural history of disease, atau natural history of illness.5 Manfaat
pembelajaran riwayat alamiah penyakit yaitu untuk kepentingan penegakan diagnostik,
fase inkubasi dan fase menentukan tipe penyakit, proses pencegahan, proses natural history of disease dimulai dari permulaan
sampai dengan terpaparnya sehingga dapat menghentikan penyebarannya dengan
tepat, dan sebagai kepentingan pengobatan. Diketahuinya tiap tahapan proses
penyakit secara komprehensif maka proses pemberian terapi bisa berjalan dengan
tepat.6 Riwayat alamiah
penyakit adalah proses perkembangan suatu penyakit tanpa diberikan intervensi
oleh manusia dengan terencana dan disengaja.7 Ada beberapa
tahapan dari riwayat alamiah penyakit, yaitu:6
a. Tahapan
atau Periodisasi Riwayat Alamiah Penyakit
Secara umum tahapan
riwayat alamiah penyakit dimulai sejak adanya pajanan sampai penyakit sembuh
atau cacat atau kambuh. Beberapa ahli memiliki istilah yang berbeda-beda dan
terdapat beberapa penyakit mempunyai cirri khas masing-masing. Riwayat alamiah
penyakit dibagi kedalam 3 tahap yaitu pathologic
onset, presymptomatic stage, dan clinical
stage. Sementara periode riwayat alamiah penyakit ada tiga masa, yaitu: 1)
Interval waktu antara terjadinya pajanan oleh agen penyakit sampai timbulnya
penyakit (incubation period); 2) Interval waktu antara
timbulnya penyakit hingga diagnosis; dan 3) Interval waktu selama diagnosis
hingga dilakukan terapi.
b. Tahap
Pre-Patogenesis (Stage of Succeptibility)
Tahap antara agent, host, dan environment yang saling berinteraksi. Pada kondisi ini tubuh masih
sehat karena system kekebalan tubuh masih kuat atau bisa mengatasi. Tahap pre
patogenesis disebut juga fase susceptibel
atau stage of susceptibility atau
tahap awal proses etiologis. Periode ini dimulai dari stimulus penyakit sampai
adanya respon pada tubuh. Pada tahap ini dimulainya interaksi antara agent-host-environment.
c. Masa
Patogenesis (Stage of Clinical Disease)
Pada tahap patogenesis
dimulai sejak adanaya kondisi patologis akibat paparan agent penyakit sampai penyakit menjadi sembuh, cacat, atau mati.
Tahapan masa prepatogenesis dibagi menjadi empat tahapan meliputi: tahap
subklinis penyakit, tahap klinis penyakit, dan tahap penyembuhan, kecacatan,
atau kematian.8
d. Fase
Sembuh, Sakit, atau Mati (Stage of Recovery,
Disability, or Death)
Pada tahapan ini
penyakit semakin mejadi parah, penderita biasanya aktivitas terganggu atau tidak
bisa melakukan pekerjaan seperti biasanya, dan ketika penderita berobat diperlukan
perawatan. Perjalanan penyakit pada fase ini akan selesai dengan beberapa
kondisi seperti sernbuh sernpurna, penderita dikatakan sernpurna jika
kondisinya sebagaimana semula sebelum terjadi sakit, sernbuh dengan adanya
kecacatan, penderita telah sernbuh namun tidak sernpurna karena meninggalkan
kecacatan secara fisik, social dan fungsional. Kondisi carrier adalah kondisi dimana penderita sepertinya telah sernbuh
dan manifestasinya sudah tidak ada atau sudah tak tarlihat namun dalam tubuh
penderita masih terdapat bibit dari penyakit. Kondisi lainnya ialah kondisi
kronis, dimana penyakit penderita sudah berhenti, manifestasi penyakitnya tidak
berkurang atau bertambah dan kemungkinan akhir dari penyakit ialah meninggal. Penyakit
yang diderita sudah berhenti dikarenakan meninggal dunia. Kondisi seperti ini
tentu tidak diharapkan pada fase alamiah perjalanan suatu penyakit.6
3.
Pencegahan
Penyakit
Dengan mengetahui riwayat alarniah perjalanan
penyakit diharapkan bisa terputus rantai penularan dari suatu penyakit. Definisi
dari pencegahan ialah suatu keputusan tindakan sebelum kejadian. Dalam langkah
ini distribusi data sangat diperlukan atau informasi yang didapatkan dari
analisis hasil epidemiologi atau bukti observasi dari pengamat epidemiologi.
Pencegahan penyakit secara umum juga dapat dilakukan melalui tiga tingkatan
pencegahan, yaitu:6
1. Pencegahan
primer, terdiri dari promkes atau health
promotion dengan tujuan upaya meninkatkan kekebalan tubuh, dan perlindungan
khusus sebagai tindakan pencegahansebelum tertular penyakit seperti dilakukan
vaksinasi atau imunisasi, meningkatkan kemampuan remaja dalam mencegah dari
ajakan penggunaaan narkotikadan sebagai upaya mengatasi stress pada remaja.9
2. Pencegahan
sekunder, meliputi: geteksi dini dan pemberian terapi yang tepat. Objek dari
pencegahan ini adalah orang yang menderita atau suspek suatu penyakit atau yang
berisiko. Pencegahan ini dilakukan sebagai deteksi dini dan mengatasi supaya
tidak terjadi perluasan penyebaran penyakit, mencegah wabah, dan mencegah
komplikasi.6
3. Pencegahan
tingkat ketiga (Tertiary Prevention) pada tahap ini penderita
dilakukan rehabilitasi sebagai usaha
supaya kecacatan yang ada tidak rnenjadi hambatan sehingga penderita bisa
melakukan aktivitas dengan optimal baik fisik, mental, dan sosial.9
B.
Konsep
Triangle Epidemologi
Studi
epidemiologi adalah pembelajaran penyebaran suatu penyakit atau masalah
kesehatan dan factor determinan sebagai tujuan melaksanakan perencanaan dan
tindakan penegahan masalah kesehatan.10 Segitiga
epidemiologi sangat familiar dalam studi epidemiologi yang diperkenalkan oleh
John Gordon. Segitiga epidemiologi ialah tiga faktor utama konsep epidemiologi
sebagai penggambaran masalah kesehatan terlebih dalam masalah pnyakit menular.
Factor utama tersebut meliputi host
(manusia), agent (penyebab penyakit)
dan environrnent (lingkungan). Distribusi
suatu penyakit dipengaruhi oleh hubungan interaksi dari tiga faktor utama
epidemiologi ini. Dibawah ini digambarkan ketiga factor utama tersebut pada
kejadian penyakit leptospirosis sebagai berikut:10
Gambar 1.
Segitiga Epidmologi10
Jika ketiga faktor
tersebut dalam kondisi seimbang maka bisa terwujud kondisi sehat pada individu,
kelompok, atau masyarakat. Jika ada perubahan pada salah satu factor tersebut
bisa mengubah keseimbangan antar ketiganya, sehingga bisa berakibat naik atau
turun kejadian penyakit.
1. Agen
(Agent)
Faktor
agent ialah suatu organisme atau
kuman infektif yang bisa menyebabkan terjadinya suatu penyakit, faktor agent dapat berupa faktor nutrisi,
penyebab kimiawi, penyebab fisik seperti radiasi, penyebab biologis, metozoa, virus,
jamur dan lain-lain. Agent pada kejadian
penyakit leptospirosis adalah mikroorganisme Leptospira.10
2. Pejamu
(Host)
Faktor
host meliputi makhlik hidup seperti
manusia, hewan bahkan antropoda yang menjadi inang tempat proses alamiah dari
suatu penyakit. Elemen host dapat
berupa usia, jenis kelamin, riwayat luka, riwayat pekerjaan, dan kebersihan
diri atau personal hygiene dan lain-lainya. Elemen-elemen host terkait dengan penyakit
leptospirosis sebagai berikut:10
a. Usia
Penyakit leptospirosis
tidak terdapat pada usia tertentu, leptospirosis didapati bisa menjangit semua
usia mulai dari balita sampai dengan usia lanjut (mulai dari usia 1 tahun
sampai dengan usia > 65 tahun).11 Bukti lainnya didapatkan
hasil bahwa kejadian leptospirosis paling banyak ditemukan pada individu dengan
rentang usia 40-49 tahun.12
b. Jenis
kelamin
Salah satu factor
penyebab kejadian penyakit leptospirosis adalah jenis kelamin. Dilakukan
pengujian pada 216 sampel didapatkan hasil seropositif paling banyak ditemui
pada jenis kelamin pria berusia 18-57 tahun. Dominasi pria usia 18-57 tahun ini
dipengaruhi adanya pria lebih sering beraktifitas atau melakuakan kegiatan di
luar ruangan sehingga pria memiliki risiko lebih besar terkena penyakit
leptospirosis.13
c. Riwayat
luka
Mikroorganisme Leptospira bisa masuk ke dalam tubuh
manusia melalui luka atau kulit yang lecet.14 Bukti menununjukkan
hasil bahwa dari 15 responden yang menderita leptospirosis terdapat 80% penderita
memiliki riwayat adanya luka dengan kejadian leptospirosis.15
d. Tingkat
pengetahuan
Pengetahuan merupakan suatu
factor predisposisi individu atau masyarakat pada kesehatan. Pengetahuan adalah
domain yang membentuk tindakan individu yang terpenting. Dari pemaparan
tersebut dapat dikatakan bahwa pengetahuan berpengaruh terhadap kejadian penyakit,
seperti halnya penyakit leptospirosis.16
e. Riwayat
pekerjaan
Beberapa pekerja
seperti petani, pekerja potong daging, peternak, petugas pemburu hewan tikus,
penambang, nelayan, tentara dan pekerja lainnya yang bersinggungan dengan hewan
sebagai kelompok yang berisiko terhadap kejadian penyakit leptospirosis.17
f. Personal
hygiene
Kebersihan diri seorang
individu dapat mencegah penyakit leptospirosis dengan melakukan cuci tangan,
kaki, dan anggota tubuh lainnya dengan menggunakan sabun setelah terkena air
banjir, pulang dari sawah. Selain tindakan tersebut, tindakan pencegahan
lainnya dengan cara makanan ditutup dan penggunaan alat pelindung diri (APD)
pada saat akan kontak dengan air genanganbanjir.18
3. Lingkungan
(Environment)
Environment
(lingkungan) merupakan semua faktor luar dari diri seseorang. Elemen lingkungan
fisik yang mempunyai potensi kejadian penyakit leptospirosis meliputi: tumpukan
sampah dan ketinggian genangan air. Sedangkan, elemen lingkungan meteorologi
yang memiliki dampak kejadian penyakit leptospirosis adalah curah hujan.10
C.
Konsep
Dasar Penyakit
Leptospirosis
ialah suatu kondisi sakit yang disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira sp dan menjadi sumber
seseorang terinfeksi dikarenakan kontak dengan urin yang mengandung bakteri
tersebut. Kejadian ini sedikit yang dilaporkan karena mahalnya biaya pengecekan
laboratorium.3 Mikroorganisme Leptospira dapat bergerak bebas
karenamemiliki bentuk spiral tipis lentur dan memiiki falgeum periplasmik ukurannya 10-20 tm tebal 0,1 gin. Leptospira peka pada kondisi asam dan bertahan
hidup di air tawar selama satu bulan, akan tetapi akan cepat mati jika hidup di
air lau, air selokan, dan urin yang tidak diencerkan.19
Mikroorganisme
ini masuk dalam ordo Spirochaetales
dengan famili Leptospiraceae, dan
memiliki genus Leptospira. Leptospira bisa berkembang pada media
dasar yang kaya akan vitamin dan asam lemak rantai panjang sebagai sumber karbon
dan garam ammonium, pada suhu 28-30°C bisa berkembang secara optimal dan pada
obligat aerob.19,20 Mnaifestasi
klinis penyakit leptospirosis diantaranya demam, ikterik, hemoglobinuria, abortus pada hewan yang mengandung, kematian janin,
dan bahkan kematian pada penderitanya.21,22
Manusia
bisa menderita penyakit leprospirosis dari kondisi ringan sampai dengan berat
tergantung serover yang menginfeksinya. Manusia bisa menjadi karier penyakit
ini jika kondisinya sudah kronis bakteri Leptospira
yang dikeluarkan melalui urin bisa bertahan dari minggu pertama sampai dengan
beberapa bulan. Sering sekali dilaporkan penyakit leptospirosis tidak menampakkan
manifestasi klinis yang spesifik dan sulit terdiagnosis jika tidak ada
pngecekan sampel di laboratorium.23
D.
Riwayat
Alamiah Leptospirosis
1.
Fase
Riwayat Alamiah Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit infeksius yang
menyerang manusia disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans
yang mempunyai tanda dan gejala yang luas. Manifestasi klinis penyakit ini
tidak jelas dari gejala ringan hingga fatal. Penyakit leptospirosis ringan,
gejalanya seperti influenza, pusing, dan myalgia.
Pada musim hujan ditemukan banyak kasus leptospirosisi dan disinyalir hewan
tikus sebagi resevoirnya.24 Penyakit
leptospirosis menular pada manusi melalui urin hewan yang terinfeksi Leptospira karena adanya kontak secara
langsung atau tidak langsung. Luka pada kulit dan mebran mukosa sebagai pintu
masuknya mikroorganisme Leptospira.19
Mikroorganisme Leptospira
bisa menginfeksi hewan mamalia dengan tinggal didalam ginjal hewan tersebut,
sehingga herwan tersebut menjadi karier untuk menularan pada manusia atau hewan
lainnya. Berikut beberapa hewan yang menjadi reservoir dari bakteri Leptospira yaitu kuda, sapi, kambing,
kerbau, babi, anjing, dan hewan pengerat seperti halnya tikus atau tupai,
burung, serangga, hewan insektivora seperti klelelawar dan landak. Reservoir Leptospira pada hewan tikus sebagai
karier dan tidak menunjukkan manifestasi klinis sepanjang hidupnya.kejadian
penyakit leptospirosis pada manusia diduga terbanyak disebkan penyebaran Leptospira melalui hewan tikus.25
Manusia bisa terpapar infeksi Leptospira bisa terjadi karena riwayat pekerjaannya seperti pegawai
petshop, penambang, tukang kebun,
petani, petugas saluran air, peternak, pemotong hewan, dan tentara. Pekerjaan
atau profesi-profesi ini berisiko tinggi karena rentan bersinggungan dengan
urin yang etrinfeksi Leptospira.
Selain itu, kondisi curah hujan yang tinggi, bencana alam seperti banjir,
wisata air, dan olah raga air bisa menyebabkan manusia kontak dengan urin yang
terinfeksi Leptospira. Priode
inkubasi penyakit berkisar 2-30 hari dan rata-rata terjadi 7-10 hari.25
2.
Tahap
Pencegahan Leptopsirosis
a. Pencegahan
Primer
Terdapat tiga aspek
yang bisa dilakukan pada tahap ini yaitu melakukan vaksinasi pada hewan yang
menjadi sumber infeksi, meningkatkan kekebalan tubuh manusia karena sebagai incidental host.26,27 Walaupun upaya
vaksinasi tidak mengobati infeksi tetapi bisa mengurangi jumlah bakteri Leptospira dalam urin hewan yang
terinfeksi dan bisa mengatasi masalah premature, lahir mati, lahir lemah, serta
mengurangi hewan yang seropositive
Leptospira.27
Dengan dilakukan
vaksinasi leptospirosis maka bisa mengatasi kerugian ekonomi akibat kematian
pada hewan atau penurunan produksi susu seperti pada hewan sapi perah dengan
diberikan vaksin produksi susu bisa menjadi normal.28 Pemberian
antibitik dapat menurunkan kerusakan hati dan ginjal, memperpendek durasi
penyakit, menurunkan penularan bagi hewan yang terinfeksi Leptospira.29
b. Pencegahan
Sekunder
Obat antibiotic semacam
chlortetracycline, oxytetraxycline, dan streptomycin jika diberikan sejak dini
menjadi sangat efektif. Dihydrostreptomycin
10 mglpound atau 10 g/1000 pound BB sapi menunjukkan efektifitas yang tinggi menyembuhkan
sapi yang karier. Pada outbreak,
untuk penyakit leptospirosis akut, direkomendasikan pemberian terapi chlortetracycline atau oxytetracvcline dalam 2-3 minggu; dan
vaksinasi diberikan pada waktu yang bersamaan. Tindakan ini memberikan
kekebalan tubuh sapi sebelum teapi antibiotic selesai.30
Dihydrostreptomycin
juga dapat diberikan pada hewan babi jantan dengan dosis tunggal 10 mg/pound
untuk mengeliminasi Leptospira pada
hewan karier.31 Pemberian dihydrostreptomycin 25 mg/kg berat badan
sapi yang diinfeksi Leptospira serovar hardjo dapat menghilangkan pengeluaran bakteri tersebut bersama
urin.32 Membersihkan
tempat-tempat yang Inenjadi habitat atau sarang tikus dan meniadakan akses
tikus ke lingkungan manusia juga dapat dilakukan dalam upaya pengendalian
leptospirosis.30
Pencegahan melalui
jalur penularan dapat dilakukan dengan mengurangi kontak dengan sumber infeksi
seperti air tercemar Leptospira,
satwa liar dan hewan yang terinfeksi atau hewan karier. Untuk kelompok individu
beresiko tinggi dianjurkan untuk memakai pakaian pelindung seperti sepatu bot,
pakaian kerja atau praktek dan sarung tangan, untuk menghindari kemungkinan
kontak dengan percikan urin, darah, atau jaringan fetus waktu menolong
kelahiran hewan. Selain itu diperlukan adanya pendekatan kepada masyarakat dan
kelompok beresiko tinggi terinfeksi Leptospira untuk meningkatkan pemahaman
mengenai leptospirosis agar dapat melakukan tindakan pencegahan penularannya.30
Pada manusia,
pengobatan terhadap penderita leptospirosis dapat dilakukan dengan pemberian
antibiotik bersamaan dengan pengobatan simtomatik dan terapi suportif.33 Selain itu
diperlukan adanya pendekatan kepada masyarakat dan kelompok beresiko tinggi
terinfeksi Leptospira untuk meningkatkan pemahaman tentang penyakit leptospirosis
supaya bisa melakukan upaya penegahan penularan.30
c. Pencegahan
Tersier
Sasaran pencegahan pada
tingkat ini penderita penyakit leptospirosis diupayakan tidak mengalami
kecacatan seperti gagal ginjal, mencegah keparahan penyakit atau komplikasi dan
juga kematian. Pada pencegahan tersier juga dilakukan upaya rehabilitasi untuk
mengatasi efeksamping pengobatan penyakit leptospirosis. Dilakukan tindakan
pengembalian fungsi fisik, psikis, dan social penderita penyakit leptospirosis
seoptimalnya dengan rehabilitasi medis, rehabilitasi mental, dan rehabilitasi
sosial.6
E.
Triangle Epidemologi Leptospirosis
1. Environment
Leptospirosis
diakibatkan adanya kontak secara langsung ataupun tidak langsung terhadap urin
hewan yang terinfeksi zoonosis yang
terbanyak didunia. Leptospira bisa
masuk ke dalam tubuh manusia lewat luka pada kulit atau membrane mukosa tubuh.
Riwayat pekerjaan menjadi factor risiko penting pada manusia. Profesi atau
pekerjaan yang memiliki factor resiko tinggi seperti petani, petugas hewan,
peternak, penambang, mantra hewan, dokter hewan, pekerja petshop dan petugas penjaga satwa liar.34 Sebagaimana di
Jakarta akibat dari banjir yang melanda ibukota terjadi wabah leptospirosis
pada tahun 2002. Kondisi ini disebabkan penularan dari binatang yang dilakukan
serosurvei dengan seropositif yaitu hewan sapi, anjing, dan kucing.25
2. Host
Manusia
dapat terinfeksi Leptospira karena
terkena langsung dengan urin atau darah ataupun jaringan dari hewan carrier leptospirosis. Mikroorganisme Leptospira bisa masuk tubuh melalui luka
pada kulit atau lewat mukosa mulut, hidung atau mata ketika berenang di dalam
air yang terkontaminasi Leptospira,
karena bakteri tersebut dapat bertahan hidup di dalam air bersifat basa sampai
6 bulan. Selain itu, penularan juga terjadi jika kontak Iangsung dengan tanah
basah ataupun tumbuhan yang terkena urin hewan yang mengandung Leptospira.35
3. Agent
Leptospirosis
berasal dari mikroorganisme patogen memiliki genus Leptospira ikut didalam ordo
Spirochaeta dan Famili Trepanometaceae.
Mikroorganisme ini ini dapat bergerak bebas karena berbentuk spiral pipih
memiliki pilinan yang rapat dan memiliki ujung kayak kait. Ukuran bakteri ini
0,1 mm x 0,6 mm sampai dengan 0,1 mm x 20 mm.25 Di Jawa Tengah
dan Jawa Timur ditemukan hasil hewan sapi mengandung serovar hardjo paling
sedikit sebanyak 20% dan Di Jawa barat, Kalimantan selatan, Sumatera Utara dan
Jawa Timur sebanyak 37% hewan sapi perah terinfeksi serovar hardjo dan
terassovi.36 Kejadian penyakit
leptospirosis pada transmigran di tempat transmigrasi Kuala Cinaku Propinsi
Riau yang kemungkinan besar disebarkan oleh hewan tikus.37
BAB III
APLIKASI KASUS
Perawat
sebagai tenaga kesehatan komunitas pada permasalahan penyakit leptospirosis
melakukan suatu distribusi masalah untuk mengatasi dan meberikan solusi pada
permasaahan ini. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah melakukan penjaringan
kasus wilayah atau desa yang memiliki prevalensi leptospirosis. Terdapat tiga
sasaran dari program pengendalian leptospirosis meliputi daerah endemis, daerah
resiko, dan daerah bebas. Daerah endemis ialah daerah yang terdapat wabah
penyakit leptospirosis, daerah resiko ialah daerah yang berdekatan atau
berbatasan dengan daerah endemis, dan daerah bebas adalah daerah yang tidak
terdapat penyakit leptospirosis dan tidak berbatasan atau berdekatan dengan
daerah endemis.25
Perawat
komunitas melakukan suatu pengendalian penyakit leptospirosis dengan
menggunakan triangle epidemiologi
meliputi: pertama, agent penyakit
leptospirosis. Penyakit leptospirosis disebabkan oleh suatu mikroorganisme zoonosis. Penularannya dengan cara berinang
pada satu hewan vertebrata. Leptospirosis dapat berkembang dialam liar atau
domestic dan bisa juga pada manusia sebagai infeksi terminal.25
Kedua, pengendalian pada host. Setelah menentukan penyebab dari
penyakit leptospirosis yang disebabkan oleh leptospira
sp. Perawat komunitas perlu melakukan
pengendalian pada host baik pada
hewan yang terinfeksi untuk memutus rantai penyebaran penyakit dan pada manusia.
Perawat komunitas dalam pencegahan pada manusia melakukan promosi kesehatan dan
pencegahan dini dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi yang baik, penggunaan alas
kaki, dan melakukan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Pencegahan pada
hewan dengan diberikan vaksinasi dan dilakukan pengendalian kebersihan
lingkungan hewan peliharaan. Jika sudah terinfeksi leptospirosis maka dilakukan
pengobatan atau terapi penyembuhan.
Ketiga, pengendalian environment. Selain pengendalian agent dan host, perawat komunitas perlu melakukan pengendalian lingkungan
karena lingkungan yang kotor seperti timbunan sampah, genangan air, air yang
tercemar, air banjir, dan kebun merupakan kondisi yang bisa menyebabkan
mikroorganisme leptospira sp mudah untuk masuk kedalam host melalui luka atau mebran mukosa
pada tubuh yang kontak atau bersinggungan dengan mikroorganisme leptospira sp dan masuk kedaam tubuh.
Perawat komunitas melakukan upaya memperbaiki lingkungan secara fisik dengan
upaya penggunaan air bersih meningkat dan sanitasi lingkungan baik. Manusia
dapat terinfeksi Leptospira karena terkena
secara langsung dengan urin atau darah ataupun jaringan dari hewan karier
leptospirosis. Mikroorganisme Leptospira
dapat masuk ke dalam tubuh lewat luka pada kulit atau lewat mukosa mulut,
hidung atau mata ketika berenang di dalarn air yang terkontaminasi Leptospira.35 Dalam upaya
menurukan dan mengendalaikan angka kejadian dari penyakit leptospirosis perawat
komunitas perlu melakukan strategi pengendalian dengan suatu pendekatan khusus,
meliputi:3
1. Advokasi dan sosialisasi
Advokasi
dan sosialisasi adalah usaha penting dalam tindakan untuk mendapatkan dukungan
dan komitmen politis (anggota DPR atau MPR) republik Indonesia dan kesadaran
semua pihak pengambil keputusan disuatu daerah atau wilayah (Bupati atau
Walikota) serta dukungan dari seluruh masyarakat sebagai upaya pengendalian
penyakit leptospirosis didaerah endemis dan daerah terancam yang mempunyai
potensi timbulnya penularan leptospirosis.25
2. Survelans pada manusia dan faktor
risiko
Surveilans merupakan suatu kegiatan analisis sistematis
tentang masalah-masalah kesehatan atau penyakit dan kondisi yang mempengaruhi
terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan
tersebut, supaya bisa dilakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan
efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi
epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan. Dalam surveilans kegiatan
menyajikan informasi dasar bagi strategi intervensi dalam kesehatan masyarakat
yang meliputi manusia dan faktor risikonya sehingga perlu dijelaskan mengenai
kegiatan surveilans pada manusia dan pada faktor risiko. Surveilans dilakukan
untuk mengamati penyakit lewat pengumpulan data rutin disuatu wilayah yang
dikordinasi oleh seksi surveilans dinas kesehatan kabupaten atau kota dan
provinsi.25
3. Sistem Kewaspadaan Dini
Selain melakukan surveilans rutin penyakit leptospirosis
terhadap manusia dan vektor, juga dilakukan sistem kewaspadaan dini (SKD) untuk
daerah endemis penyakit leptospirosis, seperti daerah rawan banjir, daerah
pasang surut dari rob air laut, persawahan, perkebunan, dan lain sebagainya.
Batas SKD yaitu kewaspadaan penyakit dan factor risikonya sebagai respon
tanggap dan kesiapsiagaan tindakan pengendalian dan mengatasi kejadian luar
biasa (KLB) secara cepat dan tepat. 25
4. Pengendalian faktor risiko
Terdapat dua cara untuk mengendalikan penyakit
leptospirosis yaitu dengan pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan primer
berupa promotif dan proteksi spesifik seperti vaksinasi. Upaya ini sebagai
proteksi terhadap orang yang sehat supaya terhindar dari penyakit
leptospirosis. dan pencegahan sekunder berupa pemberian terapi supaya orang
yang sudah terkena penyakit leptospirosis terhindar dari komplikasi dan
kematian.25
5. Promosi kesehatan atau KIE
Promosi kesehatan merupakan kegiatan meningkatkan pemahaman
dan ketrampilan seseorang atau keluarga atau kelompok ataupun masyarakat untuk
mengendalikan penyakit leptospirosis. Kegiatan ini dengan membentu kelompok di
masyarakat untuk memahamkan masyarakat luas atau memanfaatkan sumber daya
setempat yang memiliki kemampuan untuk membantu kegiatan promosi kesehatan.25
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kejadian
penyakit leptospirosis menjadi pehatian pemerintah Indonesia, penykit ini
disebabkan oleh mikroorganisme leptospira
sp. yang menjadi agent dalam penyebaran penyakit leptospirosis. Leptospira bisa menginfeksi hewan ataupun manusia yang bisa disebut
sebagai host bagi mikroorganisme
tersebut. Manusia bisa terinfeksi lewat air kencing hewan yang terinfeksi oleh leptospira seperti tikus, babi, anjing,
sapi lewat luka pada tubuh atau mebran mukosa tubuh.
Penyebaran
ini diakibatkan karena lingkungan aau environment
yang kotor seperti tumpukan sampah, genangan air yang disitu terdapat
mikroorganisme leptospira. Hal ini
bisa dikendalikan atau diatasi dengan cara perilaku hidup bersih dan sehat,
lingkungan bersih, dan sanitasi lingkungan baik. Sebagai proteksi agar manusia
tidak terkena penyakit ini dainajurkan untuk biasa cuci tangan dan kaki,
memakai sandal atau alas kaki dalam melaukan aktivitas sehari-hari.
Manusia
atau hewan yang terinfeksi eptospira bisa dilakukan pengobatan dengan pemberia
antibiotic dan terapi simptomatik. Untuk mendeteksi penyakit ini hasrus
dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan biaya yang tidak sedikit oleh
karenanya penyakit in sedikit yang terlaporkan karena sedikitnya individu yang
melakukan pengecekan laboratorium atau hanya dicek ketika terjadi indikasi
terjangkit leptospirosis.
B.
Saran
Pengendalian
penyakit leptospirosis memerlukan kerjasama semua pihak baik pemerintahan
seperti pemerintah pusat dan daerah serta DPR menegenai fasilitasi dan kebutuha
anggaran yang diperlukan. Selain itu juga memerlukan kerjasama dari masyarakat
untuk mendukung program pengendalian penyakit leptospirosis, sehingga tercapai
pengendalian yang optimal.
Comments
Post a Comment