Menurut Guba dan Lincoln kriteria penelitian dapat dipercaya dalam menampilkan fenomena yang mendukung keakuratan penelitian, meliputi: 1. Credibility merupakan penelitian dipercaya ketika partisipan mengakui temuan penelitian sebagai pengalamannya. 2. Dependability merupakan data yang didapatkan stabil pada setiap waktu dan kondisi. Proses penelitian logis, dapat dilacak, dan pendokumentasian jelas. 3. Conformability merupakan objektivitas data atau kenetralan data yang menunjukkan bahwa intepretasi dan temuan penelitian jelas berasal dari data serta sebagai petunjuk sebuah kesimpulan dan intepretasi telah di capai. Transferability merupakan generalisasi penerapan hasil penelitian untuk diterapkan pada tempat atau kondisi yang setara.
KONSEP DASAR LANSIA
1.
Pengertian Lansia
Masa
dewasa tua (lansia) dimulai setelah pensiun, biasanya antara usia 65-75 tahun
(Potter, 2005).
Proses
menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu
tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan
proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya,
yaitu anak, dewasa, dan tua (Nugroho, 2008).
2.
Klasifikasi Lansia
Klasifikasi
berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia.
a.
Pralansia (prasenilis) yaitu seseorang
yang berusia antara 45-59 tahun.
b.
Lansia yaitu seseorang yang berusia 60
tahun atau lebih.
c.
Lansia Resiko Tinggi yaitu seseorang
yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2003).
d.
Lansia Potensial yaitu lansia yang masih
mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa
(Depkes RI, 2003).
e.
Lansia Tidak Potensial yaitu lansia yang
tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang
lain (Depkes RI, 2003).
3.
Karakteristik Lansia
Menurut
Keliat (1999) dalam Maryam (2008), lansia memiliki karakteristik sebagai
berikut:
a.
Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai
dengan Pasal 1 Ayat (2) UU No. 13 tentang kesehatan).
b.
Kebutuhan dan masalah yang bervariasi
dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai
spiritual, serta dari kondisi adaftif hingga kondisi maladaptif.
c.
Lingkungan tempat tinggal yang
bervariasi (Maryam, 2008).
4.
Tipe Lansia
Di zaman
sekarang (zaman pembangunan), banyak ditemukan bermacam-macam tipe usia lanjut.
Yang menonjol antara lain:
a.
Tipe arif bijaksana
Lanjut usia ini kaya
dengan hikmah pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai
diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati,
sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
b.
Tipe mandiri
Lanjut usia ini senang
mengganti kegiatan yang hilang dengan kegiatan baru, selektif dalam mencari
pekerjaan dan teman pergaulan, serta memenuhi undangan.
c.
Tipe tidak puas
Lanjut usia yang selalu
mengalami konflik lahir batin, menentang proses penuaan, yang menyebabkan
kehilangan kecantikan, kehilangan daya tarik jasmani, kehilangan kekuasaan,
status, teman yang disayangi, pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, menuntut,
sulit dilayani dan pengkritik.
d.
Tipe pasrah
Lanjut usia yang selalu
menerima dan menunggu nasib baik, mempunyai konsep habis (“habis gelap datang
terang”), mengikuti kegiatan beribadat, ringan kaki, pekerjaan apa saja
dilakukan.
e.
Tipe bingung
Lansia yang kagetan,
kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, merasa minder, menyesal, pasif, acuh
tak acuh (Nugroho, 2008).
5.
Tugas Perkembangan Lansia
lp-askepgerontik-DM.azam.blogespot.com
Menurut Erickson, kesiapan lansia untuk beradaptasi atau menyesuaikan
diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut dipengaruhi oleh proses tumbuh
kembang pada tahap sebelumnya. Adapun tugas perkembangan lansia adalah sebagai
berikut :
a.
Mempersiapkan diri untuk kondisi yang
menurun.
b.
Mempersiapkan diri untuk pensiun.
c.
Membentuk hubungan baik dengan orang
seusianya.
d.
Mempersiapkan kehidupan baru.
e.
Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan
sosial/masyarakat secara santai.
f.
Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan
kematian pasangan (Maryam, 2008).
KONSEP DASAR DIABETES MILITUS
1.
Definisi DM
Diabetes
militus adalah gangguan metbolisme yang secara genetis dan klinis termasuk
heterogen dengan manifestasi hilangnya toleransi karbohidrat (Price, 2005).
Diabetes
militus merupakan suatu penyakit kronik yang kompleks yang melibatkan kelainan
metabolisme karbihidrat, protein dan lemak dan berkembangnya komplikasi
makrovaskuler dan neurologi (Riyadi, 2008).
Diabetes
adalah suatu penyakit dengan gejala konsentrasi glukosa dalam darah yang
meningkat (hiperglikemia) (Soegondo, 2009).
2.
Tipe Diabetes Militus
Ada
beberapa diabetes militus yang berbeda : penyakit ini dibedakan berdasarkan
penyebab,perjalanan klinis dan terapinya. Kalsifikasi diabetes yang utama
adalah :
a.
Tipe 1 : diabetes militus tergantung
insulin (Insulin Dependent Diabetes
Mellitus) atau IDDM.
b.
Tipe 2 : diabetes militus tidak
tergantung insulin (Non-Insulin Dependent
Diabetes Mellitus) atau NIDDM.
c.
Diabetes militus yang berhubungan dengan
keadaan atau sindrom lainnya.
d.
Diabetes militus gestasional (Gestational Diabete Mellitus) atau GDM.
(Price, 2005).
3.
Etiologi
a.
Defisiensi insulin, seperti yang
dijumpai pada DM tipe 1.
b.
Penurunan responsitifitas sel terhadap
insulin, seperti yang dijumpai pada DM tipe 2 karena adanaya penyebab obesitas,
kurangnya aktifitas fisik.
c.
Stress kronis.
Respon terhadap stress
mencakup aktivitas sistem saraf simpatis dan pelepasan hormone pertumbuhan
(Tyroid), ketokolamin epinefrin dan
norepinefrin dari kelenjar adrenal yang selanjutnya akan merangsang peningkatan
pemecahan simpanan glukosa dihepar dan otot rangka.
d.
Hipertiroid.
Hormone-hormon tersebut
akan menstimulasi pelepasan insulin yang berlebihan oleh sel-sel pancreas,
sehingga akhirnya terjadi penurunan respon sel terhadap insulin.
e.
Autoimun
Autoimun menyebabkan
kerusakan sel-sel beta pancreas yang berakibat defisiensi insulin sampai
keainan yang menyebabkan retensi terhadap kerja insulin.
f.
Alkoholisme
Dianggap menambah
resiko terjadinya kerusakan sel-sel beta pada pancreas.
(ADA 2009).
4.
Manifestasi Klinis
a.
Kadar gula darah sewaktu melebihi angka
200 mg/dl atau kadar gula darah puasa mlebihi 126 mg/dl meningkat.
b.
Poliuria (banyak dan sering kencing).
c.
Polipagia (banyak makan).
d.
Polidipsi (banyak minum).
e.
Kelemahan tubuh, lesu, cepet lelah, dan
tidak bertenaga.
f.
Rasa kesemutan, karena iritasi
(perangsangan) pada serabut-serabut saraf.
g.
Kelainan kulit, gatal-gatal, dan
bisul-bisul.
h.
Infeksi saluran kencing.
i.
Infeksi yang sukar sembuh.
(ADA, 2009).
5.
Patofisiologi Diabetes Tipe 2
Pada
DM tipe 2 terdapat masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu :
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat
dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin
dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme
didalam sel. Resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi
intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk
mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah,
harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi
glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan,
dan kadarglukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit
meningkat. Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan
kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes
tipe 2.
Meskipun
terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM tipe 2, namun mash
terdapat jumlah insulin yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi
badan keton yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetic tiak terjadi
pada diabetes tipe 2. Meskipun demikian, diabetes tipe 2 yang tidak terkontrol
dapat menimbulkan maslah akut lainnya yang dianamakan sindrom hiperglikemik
hiperosmoler nonketotik (HHNK).
Diabetes
tipe 2 paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia lebih dari 30
tahun dan obesitas. Akibat toleransi glukosa yang begitu lambat (selama
bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe 2 dapat berjalan tanpa
terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat
ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsiaa, luka
pada kulit yang lama sembuh-sembuh, infeksi vaginadan pandangan yang kabur
(jika kadar glukosanya sangat tinggi).
Untuk
sebagian besar pasien (kurang lebih 75%) penyakit diabetes tipe 2 nya ditemukan
secara tidak sengaja (misalnya pasien menjalani pemeriksaan laboratorium yang
rutin). Slah satu konsekuensi tidak terdeteksinya penyakit diabetes selama bertahun-tahun
adalah bahwa omplikasi diabetes jangka panjang (misalnya kelainan mata,
neuropti perifer, kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi sebelum
diagnosis ditegakkan.
Penanganan
primer pada diabetes tipe 2 adalah penurunan berat badan, karena resistensi
insulin berkaitan dengan obesitas. Latihan merupakan unsure yang penting pula
untuk meningkatkan efektivitas insulin. Obat hipoglikemia dapat ditambahkan
jika diet dan latihan tidak berhasil mengendalikan kadar glukosa darah. Jika
pengguanaan obat oral dengan dosis maksimal tida berhasil menurunkan kadar
glukosa hingga tingkat yang memuaskan maka insulin dapat digunakan. Sebagian
pasien memerlukan insulin untuk sementara waktu selama periode stress
fisiologik yang akut, seperti selama sakit atau pembedahan.
(Smeltzer and Bare,
2002).
6.
Pengelolaan Diabetes Militus
Menurut Perkeni (2006)
pilar utama pengelolaan diabetes militus, yaitu :
a.
Penyuluhan (edukasi diabetes)
Penyuluhan dilakukan
secara berkala setiap saat dapat menyegarkan dan memperbaiki materi penyuluhan
kepada pendeita DM.
b.
Perencanaan makanan
Standar yang dianjurkan
adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein,
dan lemak sesuai dengan kecukupan gizi
baik sebagai berikut :
Karbohidrat 60%-70%
Protein 10%-15%
Lemak 20%-25%
c.
Latihan jasmani
Dianjurkan latihan
jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit, yang
sifatnya sesuai CRIPE (continuosm rhythmical
interval progressive endurance training). Sedapat mungkin mencapai zona
sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur) disesuaikan dengan kemampuan dan
kondisi penyakit penyerta. Sebagai contoh : olahraga ringan adalah berjalan
kaki selama 30 menit, olahraga sedang adalah berjalan cepat selama 20 menit,
dan olahraga berat adalah jogging.
d.
Obat berkhasiat hipoglikemik
Pada umumnya dalam
menggunakan obat hipoglikemik oral, baik golongan sulfoniuera, metformin,
maupun inhibitor glukosidase alfa, harus diperhatikan benar fungsi hati dan
ginjal. Tidak dianjurkan untuk memberikan obat-obat tersebut pada penderita
dengan gangguan fungsi hati dan ginjal.
7.
Penyulit DM
Menurut Perkeni (2006)
dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun.
a.
Penyulit akut :
1)
Ketoasidosis diabetik
2)
Hiperosmolar non ketotik
3)
hipoglikemia
b.
Penyulit menahun :
1)
Makroangiopati :
a)
Pembuluh darah jantung (penyakit jantung
kororner).
b)
Pembuluh darah tepi.
c)
Pembuluh darah otak (stroke).
2)
Mikroangiopati :
a)
Retinopati diabetik
b)
Nefropatik diabetik
3)
Neuropati
4)
Rentan infeksi, misalnya tuberculosis,
gingivitis, dan infeksi saluran kemih.
5)
Kaki diabetik
DAFTAR
PUSTAKA
American Diabetc
Assocation. 2009. Diagnsis and Clasification of Diabetus Mellius.
PERKENI. 2006.
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di
Indonesia. Penerbit PERKENI Jakarta.
Price, Sylva Anderon. 2005. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses penyakit ed. 6. Jakarta
:
EGC.
Nugroho,
Wahyud.2008. keperawatan Geronik.
Jakarta : EGC.
Potter and Pery.
2005. Foundamental Keperwatan.
Jakarta : EGC.
Riyadi,
Sujono, dan Sukarmin. 2008. Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
eksokrin dan endokrin pada
pancreas. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Smeltzer,
Suzanne C. 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Soegondo, Sidartawan. 2009. Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : FKUI.
Comments
Post a Comment