Skip to main content

Trustworthiness of Data

  Menurut Guba dan Lincoln kriteria penelitian dapat dipercaya dalam menampilkan fenomena yang mendukung keakuratan penelitian, meliputi: 1.       Credibility merupakan penelitian dipercaya ketika partisipan mengakui temuan penelitian sebagai pengalamannya. 2.       Dependability merupakan data yang didapatkan stabil pada setiap waktu dan kondisi. Proses penelitian logis, dapat dilacak, dan pendokumentasian jelas. 3.       Conformability merupakan objektivitas data atau kenetralan data yang menunjukkan bahwa intepretasi dan temuan penelitian jelas berasal dari data serta sebagai petunjuk sebuah kesimpulan dan intepretasi telah di capai. Transferability merupakan generalisasi penerapan hasil penelitian untuk diterapkan pada tempat atau kondisi yang setara.

LP bronkhiolitis

KONSEP TEORI BRONKIOLITIS
A.      DEFINISI
Bronchiolitis adalah penyakit virus pada saluran pernafasan bawah yang ditandai dengan peradangan bronkioli yang lebih kecil (Betz & Suwden, 2009).
Bronchiolitis adalah penyakit obstruksi akibat inflamasi akut pada saluran pernafasan kecil (broncheolus), terjadi pada anak berusia kurang dari 2 tahun dengan insiden tertinggi sekitar usia 6 bulan (Masjoer, 2007).
Bronchiolitis adalah suatu peradangan pada bronchiolus yang disebabkan oleh Virus (Suriadi & Rita, 2010).

B.       ETIOLOGI
Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV), 60–90% dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat menimbulkan epidemi. Infeksi RSV menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%-90% dan menyebabkan pneumonia sebanyak 40% ( Mansjoer, 2007).

C.       MANIFESTASI KLINIS
Terjadi distres nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit, kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat. Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles. Hepar dan lien teraba akibat pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Sering terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar. Pada beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta faringitis. Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus atau inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitric acids ,sulfur dioxide) ( Mansjoer, 2007).

D.      PATOFISIOLOGI
RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein )yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus .
Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus tertimbun di dalam bronkiolus . Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekpresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas. Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas. Karena resistensi aliran udara saluran nafas berbanding terbalik dengan diameter saluran napas pangkat 4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan akibat cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran nafas meningkat pada fase inspirasi maupun pada fase ekspirasi.
Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir 2 kali di atas normal. Atelektasis dapat terjadi bila obstruksi total.Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi ‘cumulatif immunity’ sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.
Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat sampai 15 hari . Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi virus saluran napas dan asma: (1) Infeksi akut virus saluran napas pada bayi atau anak keci seringkali disertai wheezing. (2) Penderita wheezing berulang yang disertai dengan penurunan tes faal paru, ternyata seringkali mengalami infeksi virus saluran napas pada saat bayi/usia muda. Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon antibodi sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon imun yang lebih buruk.
Terjadi hubungan terbalik antara titer antibodi neutralizing dengan resiko reinfeksi. Tujuh puluh sampai delapan puluh persen anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE dalam 6 hari perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV ditemukan dalam sekret nasofaring 45% anak yang terinfeksi RSV dengan mengi, tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik RSV (Mansjoer, 2007).

E.       PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1.         Pemeriksaan radiologi
Menunjukkan hiperinflasi dengan udara yang terperangkap, infiltrasi (penimbunan) perihiler ringan, dan atelektasis (ekspansi paru pada saat lahir yang tidak komplet).
lp-bronkhiolitis.azam.bloggespot.com
2.         Pemeriksaan darah
Terjadi peningkatan hemoglobin dan hematokrit. Sel darah putih juga mengalami peningkatan.
3.         Uji ELISA
(enzym Linked Immunofluorescent Assay) untuk mengidentifikasi kadar IL-4 dan IFN-γ dan adanya virus pada nasoparhyngeal.
4.         Untuk mengetahui respiratory syncytial virus (RSV) dilakukan dengan pemeriksaan dengan menggunakan test pack RSV dengan metode rapid enzyme immuno assay untuk mendeteksi antigen virus secara langsung yang diambil dari sediaan sekresi lendir nasofaring. Pengukuran faal paru menggunakan spirometer auto spiror discom 21 sesuai prosedur (Marni, 2014).
F.        PENATALAKSANAAN
1.         Penatalaksanaan medis
a.         Terapi farmakologis.
1)        Bronkodilator, diberikan untuk membantu anak lebih mudah bernapas dengan cara membuka saluran udara di paru-paru dan mengurangi sesak napas. Obat ini dapat diberikan dengan nebulasi, contoh obat ini adalah proventil, ventolin.
2)        Steroid, untuk mengatasi radang saluran pernapasan, membantu mengurangi sesak napas dan mengontrol demam, namun pemberiannya tidak dianjurkan. Deksametason 0,5 mg/kgBB inisial, dilanjutkan 0,5 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis.
3)        Antivirus, seperti ribavirin (Rebetol) dapat diberikan dalam bentuk nebulasi, penggunanya telah dianjurkan untuk bayi dengan penyakit jantung konginetal oleh komite penyakit infeksi akademik pediatric amerikaka (AAP)
4)        Antibiotik. Penggunaan antibiotik tidak berguna untuk mengobati RSV karena RSV disebabkan oleh infeksi virus. Meskipun demikian, antibiotik tetap diberikan karena bronchiolitis sukar dibedakan dengan pneumonia interstisialis, dan apabila telah terjadi komplikasi bakteri, seperti infeksi di telinga bagian tengah, atau radang paru-paru karena bakteri. Bila tidak ada komplikasi, maka dokter mungkin akan merekomendasikan obat-obatan yang dapat dibeli secara bebas seperti asetaminofen (Tylenol, dll) atau ibuprofen (Advil, Motrin, dll), yang dapat mengurangi demam tetapi tetap tidak dapat mengobati infeksi tersebut untuk sembuh lebih cepat.
5)        Paracetamol, diberikan jika anak merasa tidak nyaman dan mengalami demam (10 mg/kgBB/hari).
6)        Inhalasi dengan salin normal dan beta agonis untuk memperbaiki transpor mukosilier.
b.        Nebulasi, untuk membantu mengeluarkan lendir dari hidung anak.
c.         Oksigenasi. Biasanya, penderita diberikan oksigen yang lembab melalui selang udara ke hidung atau headbox atau pada beberapa kasus parah, melalui ventilasi buatan. Untuk bronchiolitis ringan, oksigen diberikan sebanyak 1-2 L/menit atau sesuai kebutuhan.
d.        Pada kasus yang serius, anak mungkin membutuhkan pemasangan ventilasi mekanik, sebuah alat bantu pernapasan.
Anak akan merasa lega setelah lebih mudah bernapas dan selera makannya juga akan mulai kembali membaik.
e.         Pemberian cairan infuse, untuk mencegah terjadinya dehidrasi apabila anak sulit makan dan minum.
1)        Neonatus: dekstrose 10% : NaCl 0,9% = 4 : 1, + KCl 1-2 mEq/kgBB/hari
2)        Bayi > 1 bulan: dekstrose 10% : NaCl 0,9% = 3 : 1, + KCl 10 mEq/500 ml cairan
Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu, dan status hidrasi.
f.         Koreksi gangguan asam basa dan elektrolit.
2.         Penatalaksanaan keperawatan
a.         Hal utama dalam pengobatan bronchiolitis adalah menjaga anak agar tidak terjadi dehidrasi jika anak tidak makan atau minum dengan baik. Beri minum air putih sebanyaknya untuk menghindari dehidrasi dan beri makan dengan porsi yang lebih kecil namun dengan frekuensi lebih sering.
b.        Memberikan posisi yang nyaman dengan posisi kemiringan 30°-40° (semifowler) atau dengan kepala dan dada yang sedikit ditinggikan sehingga leher berada pada posisi ekstensi untuk mempermudah pernapasan. Atau duduk dengan posisi tegak.
c.         Berikan minuman atau cairan hangat, seperti sup atau air hangat, untuk membantu melegakan pernapasan dan mengencerkan dahak yang mengental.
d.        Anak ditempatkan pada tempat yang sejuk dan udara yang cukup lembab untuk dihirup untuk mengatasi hipoksemia. Buat agar ruangan atau kamar dalam keadaan hangat tetapi tidak terlalu panas Bila udaranya kering, gunakan pelembab ruangan (humidifier) atau vaporizer yang dapat melembabkan udara dan membantu melegakan napas dan batuk. Yakinkan agar alat pelembab udara dalam keadaan kering untuk mencegah timbulnya bakteri dan kuman.
e.         Yakinkan lingkungan yang bebas dari asap rokok. Asap rokok dapat memperburuk gejala yang ada.
f.         Hindari kontak dengan bayi lainnya dalam beberapa hari pertama (Ngastiyah, 2009).

G.      KOMPLIKASI
1.         Radang paru-paru. Virus maupun organisme yang menyebabkan infeksi dapat menginvasi ke bagian paru-paru yang lain bahkan seluruh bagian.
2.         Radang saluran tengah, terjadi saat ada virus yang masuk ke daerah di belakang gendang telinga
3.         Kemungkinan timbulnya penyakit asma di kemudian hari. Reaksi radang yang terjadi saat anak-anak dapat meningkatkan sensitivitas pada saluran napas terhadap allergen, sehingga dapat memicu terjadinya astma.
4.         Gangguan respiratorik jangka panjang pasca bronchiolitis dapat timbul berupa batuk berulang, mengi, dan hiperreaktivitas bronkus, yang cenderung membaik sebelum usia sekolah.
5.         Bronkiolitis obliterans dan sindrom paru hiperlusen unilateral (Sindrom Swyer-James). Komplikasi ini sering dihubungkan dengan adenovirus.
6.         Kematian. Pada anak-anak yang berusia kurang dari 6 bulan, bayi-bayi yang lahir prematur, dan bayi-bayi yang memiliki kelainan bawaan pada jantung dan paru-parunya, infeksi RSV dapat berakibat serius sampai menimbulkan kematian (Ngastiyah, 2009).

ASUHAN KEPERAWATAN BRONKIOLITIS
A.      PENGKAJIAN
Keluhan utama pada klien bronkiolitis meliputi batuk kering dan produktif dengan sputum purulen, demam dengan suhu tubuh dapat mencapai > 40o C dans esak nafas.
1.         Riwayat penyakit saat ini
Riwayat penyakit saat ini pada klien dengan bronkiolitis bervariasi tingkat keparahan dan lamanya. Bermula dari gejala batuk-batuk saja, hingga penyakit akut dengan manifestasi klinis yang berat. Sebagai tanda-tanda terjadinya toksemia klien dengan bronkiolitis sering mengeluh malaise, demam, badan terasa lemah, banyak berkeringat, takikardia, takipnea. Sebagai tanda terjadinya iritasi, keluhan yang di dapatkan terdiri atas batuk, ekspektorasi atau peningkatan produksi secret dan rasa sakit di bawah sternum. Penting ditanyakan oleh perawat mengenai obat-obat yang telah atau biasa yang di minum klien untuk mengurangi keluhannya dan mengkaji kembali apakah obat-obat tersebut masih relevan  untuk dipakai kembali.
2.         Riwayat penyakit terdahulu
Pada pengkajian riwayat kesehatan terdahulu sering kali mengeluh pernah mengalami infeksi saluran pernafasan bagian atas dan adanya riwayat alergi pada pernafasan atas. Perawat harus memperhatikan dan mencatat baik-baik.
3.         Pemeriksaan fisik
a.         Keadaan umum dan tanda-tanda vital
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan bronkiolitis biasanya di dapatkan peningkatan suhu tubuh >40C, frekuensi nfas meningkat dari frekuensi nafas normal, nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernafasan, serta biasanya tidak ada masalah dengan tekanan darah.
4.         B1 (Breathing)
Inspeksi : Klien biasanya mengalami peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan , biasanya menggunakan otot bantu pernafasan.
Palpasi : Taktil prenitus biasanya normal.
Perkusi : Hasil pengkajian perkusi menunjukkan adanya bunyi resonan pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : Jika abses terisi penuh dengan cairan pus akibat drainase yang buruk, maka suara nafas melemah. Jika bronkus paten dan drainasenya baik di tambah dengan adanay konsulidasi di sekitar abses , maka akan terdengar suara nafas bronchial dan ronkhi basah.
5.         B2(Blood)
Sering di dapatkan kelemahan secara umum. Denyut nadi takikardi. Tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan biasanya tidak di dapatkan berarti tidak mengalami pergeseran.
6.         B3 (brain)
Tingkat kesadaran klien biasanya komposmetis apabila tidak ada komplikasi penyakit yang serius.
7.         B4 (bladder)
Pengukuran volume output urin berhubungan erat dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria yang merupakan salah satu tanda awal dari syok.
8.         B5 (bowel)
Klien biasanya sering mengalami mual dan muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.
9.         B6 (bone)
Kelemahan dan kelelahan fisik, secara umum sering menyebabkan klien memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan aktivitas sehari hari

B.       DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.         Ketidakefektifan bersihan jalan napas (00031)
2.         Ketidakefektifan pola napas (00032)
3.         Kekurangan volume cairan (00027)
4.         Hipertermia (00007)

C.       INTERVENSI KEPERAWATAN
Dx 1 : Ketidakefektifan bersihan jalan napas.
Tujuan  : jalan napas terbebas dari sekret.
Kriteria hasil   : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam  jalan napas anak akan lancar yang ditandai dengan mampu bernafas mudah, dan warna kulit merah muda.
Intervensi
Rasional
1.      Beri lingkungan berkelembapan tinggi dengan meletakkan  anak dalam mist temt( tenda lembab ) atau alat umudifikasi yang dingin.
1.      Kelembapan dingin dari tenda lembab atau croupette membantu mengencerkan lendir, dan mengurangi edema bronkhiolus
2.      Beri oksigen melalui sungkup muka, kanula hidung, atau tenda oksigan, sesuai petunjuk.
2.      Oksigen membantu mengurangi kegelisahan karena kesukaran pernafasan dan hipoksia
3.      Posisiskan anak dengan kepala dan dada lebih tinggi, leher agak ektensi.
3.      Posisi ini mempertahankan terbukanya jalan nafas dan memudahkan pernafasan dengan menurunkan tekanan pada diafragma.
4.      Lakukan fisoterapi dada setiap 4 jam atau sesuai petunjuk.
4.      Fisiotherapi dada membantu menghilangjkan dan mengeluarkan mucus yang dapat menghambat jalan nafas kecil.
5.      Beri bronkodilator sesuai petunjuk.
5.      Walaupun umumnya digunakan untuk menanggulangi spasme otot, bronkodilator efektif mengobati edema bronkiolus.
6.      Lakukan pengisapan lendir sesuai kebutuhan, yang bertujuan mengeluarkan secret.
6.      Mengeluarkan lendir akan membantu membersihkan bronkiolus sehingga meningkatkan pertukaran gas
7.      Beri obat antivirus sesuai petunjuk.
7.      Obat anti-virus, seperti respiratory syncytial virus immune globulin(respigam) digunakan untuk mengobati RSV, ribavirin ( virazole), juga digunakan walaupun kemanjurannya diragukan.
8.      Beri istirahat yang adekuat dengan cara mengurangi kegaduhan dan pencahayaan, serta beri kehangatan dan kenyamanan.
8.      Memfasilitasi istirahat yang cukup akan mengurangi kesukaran pernafasan yang disebabkan oleh bronkiolitis.
9.      Kaji frekuensi pernafasan anak dan iramanya setiap jam. Jika anak mengalami gangguan pernafasan, auskultasi bunyi nafas, lakukan fisiotherapi dada, serta informasikan kepada ahli terapi pernafasan.
9.      Pengkajian yang sering menjamin fungsi pernafasan yang adekuat.
10.  Pantau denyut apical anak ; jika anda mendeteksi adanya takikardia (berdasarkan pada usia anak ), segera beri tahu dokter.
10.  Takikardia dapat disebabkan oleh hipoksia atau efek penggunaan bronkodilator.
Dx 2 : Kekurangan volume cairan.
Tujuan  : Tidak terjadi kekurangan volume cairan
Kriteria hasil : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam anak akan mempertahankan keseimbangan cairan yang di tandai dengan haluaran urin 1-2 mL/kg/jam serta turgor kulit baik.
Intervensi
Rasional
1.      Beri cairan I.V, sesuai petunjuk.
1.      Cairan via I.V. digunakan untuk tujuan hidrasi sampai krisis teratasi.
2.      Yakinkan bahwa anak dapat beristirahat cukup.
2.      Istirahat memungkinkan frekuensi pernafasan anak kembali ke batas normal, dengan cara mengurangi jumlah kehilangan cairan melalui ekshalasi.
3.      Pantau asupan dan haluaran cairan pada anak dengan cermat.
3.      Melakukan pemantauan yang teliti menjamin hidrasi adekuat. Jika haluaran urine berkurang anak memerlukan penambahan caiaran.
4.      Kaji tanda – tanda dehidrasi, termasuk penurunan berat badan, pucat, turgor kulit jelek, membrane mukosa kering, oliguria, dan peningkatan frekuensi nadi.
4.      Tanda – tanda ini menunjukkan bahwa anak tidak menerima cairan yang cukup.
5.      Tingkatkan asupan cairan melalui mulut, bila serangan akut telah reda.
5.      Cairan membantu mengencerkan lendir.
Dx 3  : Hipertermia yang berhubungan dengan infeksi.
Tujuan : Tidak terjadi hipertermia
Kriteria hasil  : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam anak akan mempertahankan suhu tubuh kurang dari 37,80C. (nilai suhu tubuh spesifik bergantung pada metode yang digunakan untuk mengukurnya.
Intervensi
Rasional
1.      Menggunakan piyama dan selimut yang tidak tebal, serta pertahankan suhu ruangan antara 22dan 24o C.
1.      Lingkungan yang sejuk membantu menurunkan suhu tubuh dengan cara radiasi.
2.      Beri antipiretik sesuai petunjuk.
2.      Antipiretik seperti asetaminofen (Tylenol), efektif menurunkan demam.
3.      Pantau suhu tubuh anak setiap 1 - 2 jam, bila terjadi peningkatan secara tiba – tiba.
3.      Peningkatan suhu secara tiba – tiba akan mengakibatkan kejang.
4.      Beri antimikroba, jika disarankan.
4.      Antimikroba mungkin disarankan untuk mengobati organisme penyebab. Antibiotik biasanya tidak disarankan untuk mengobati RSV.
5.      Berikan kompres dengan suhu 37oC pada anak untuk menurunkan demam.
5.      Kompres air hangat efektif mendinginkan tubuh melalui cara konduksi.
(Hidayat, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Betz & Sowden . 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 5. Jakarta : EGC.
Hidayat,A.Aziz Alimul. 2011. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Salemba Medika.
Mansjoer, Arief. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapilis.
Marni. 2014. Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Gangguan Pernapasan. Yogyakarta : Gosyen Publishing.
Ngastiyah. 2009. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.
Suriadi dan Rita Yuliani. 2010. Asuhan Keperawatan pada Anak Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto.
fami �FT m ` �s� man","serif";mso-fareast-font-family: "Times New Roman";color:black;mso-themecolor:text1'>3.         Perkembangan dewasa akhir

a.      Perkembangan Fisik
Pada masa lansia terlihat pada perubahan perubahan fisiologis yang bisa dikatakan mengalami kemunduran, perubahan perubahan biologis yang dialami pada masa lansia yang terlihat adanya kemunduran tersebut sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan dan terhadap kondisi psikologis. Kebanyakan perubahan fisik pada lansia mengalami hal yang sama, misalnya rambut yang memutih, kulit keriput, dan gigi yang tunggal. Pada periode ini penurunan fungsi organ tampak jelas.
b.      Perkembangan Psikis dan Intelektual
Otak dan Sistem syaraf berubah dengan tanda adanya penurunan kecepatan belajar sesuatu yang diikuti dengan menurunnya kemampuan intelektual. Beberapa peneliti memperkirakan 5 sampai 10% neuron akan berhenti tumbuh sampai kita mencapai usia 70 tahun, setelah itu hilangnya neuron menjadi dipercepat. Aspek yang signifikan dari proses penuaan adalah pada neuron-neuron yang tidak mengganti dirinya sendiri yang menyebabkan hilangnya sebagian kecil kemampuan pada masa dewasa akhir.
c.       Perkembangan Emosional
Memasuki masa tua, sebagian besar lanjut usia kurang siap menghadapi dan menyikapi masa tua tersebut, sehingga menyebabkan para lanjut usia kurang dapat menyesuaikan diri dan memecahkan masalah yang dihadapi (Widyastuti, 2000). Munculnya rasa tersisih, tidak dibutuhkan lagi, ketidakikhlasan menerima kenyataan baru seperti penyakit yang tidak kunjung sembuh, kematian pasangan, merupakan sebagian kecil dari keseluruhan perasaan yang tidak enak yang harus dihadapi lanjut usia. Sejalan dengan bertambahnya usia, terjadinya gangguan fungsional, keadaan depresi dan ketakutan akan mengakibatkan lanjut usia semakin sulit melakukan penyelesaian suatu masalah. Sehingga lanjut usia yang masa lalunya sulit dalam menyesuaikan diri cenderung menjadi semakin sulit penyesuaian diri pada masa-masa selanjutnya.
d.      Perkembangan Spiritual
Sebuah penelitian menyatakan bahwa lansia yang lebih dekat dengan agama menunjukkan tingkatan yang tinggi dalam hal kepuasan hidup, harga diri dan optimisme. Kebutuhan spiritual (keagamaan) sangat berperan memberikan ketenangan batiniah, khususnya bagi para Lansia. Rasulullah bersabda “semua penyakit ada obatnya kecuali penyakit tua”. Sehingga religiusitas atau penghayatan keagamaan besar pengaruhnya terhadap taraf kesehatan fisik maupun kesehatan mental.
e.       Sistem peredaran darah
Tidak lama berselang terjadi penurunan jumlah darah yang dipompa oleh jantung dengan seiringnya pertambahan usia sekalipun pada orang dewasa yang sehat. Bagaimanapun, kita mengetahui bahwa ketika sakit jantung tidak muncul, jumlah darah yang dipompa sama tanpa mempertimbangakan usia pada masa dewasa. Kenyataannya para ahli penuaan berpendapat bahwa jantung yang sehat dapat menjadi lebih kuat selama kita menua dengan kapasitas meningkat bukan menurun (Fozard, 1992). Meningkatnya tekanan darah yang terjadi akibat bertambah kerasnya dinding pembuluh arteri aorta dan pusat merupakan gejala umum bagi orang yang berusia lanjut. 
f.       Sistem pernafasan
Kapasitas paru-paru akan menurun pada usia 20 hingga 80 tahun sekalipun tanpa penyakit. Paru paru kehilangan elatisitasnya, dada menyusut, dan diafragma melemah. Meskipun begitu, berita baiknya adalah bahwa orang dewasa lanjut dapat memperbaiki fungsi paru paru dengan latihan-latihan memperkuat diafragma.


g.      Seksualitas
Penuaan menyebabkan beberapa perubahan penurunan dalam hal seksualitas manusia, dan terdapat perubahan yang lebih banyak pada laki laki dari pada perempuan. Rubin (Harlock) mengatakan bahwa hubungan seksual tidak mungkin berhenti secara otomatis pada usia berapapun. Mereka yang tidak melakukan hubungan seksual pada usia lanjut, biasanya disebabkan oleh penyakit yang diderita pasangannya.

4.         Tugas Perkembangan Pada Masa Dewasa Akhir
Memelihara pengaturan kehidupan yang memuaskan merupakan tugas paling penting dari keluarga-keluarga lansia. Orangtua biasanya pindah ke salah satu anak mereka karena penurunan kesehatan dan status ekonomi, mereka tidak punya pilihan lain, dan ini terbukti merupakan  suatu pengaturan yang tidak memuaskan bagi lansia (Lopata, 1973).

Tabel Tahap VIII Siklus Kehidupan Keluarga Inti dengan keluarga dalam masa pensiun dan lansia, dan Tugas-Tugas Perkembangan Keluarga yang Bersamaan
Tahap Siklus Kehidupan Keluarga
Tugas-Tugas Perkembangan Keluarga dewasa akhir
Keluarga dewasa akhir/Lansia
1.     Menciptakan kepuasan dalam keluarga sebagai tempat tinggal di hari tua.
2.     Menyesuaikan hidup dengan penghasilan sebagai pensiunan
3.     Membina kehidupan rutin yang menyenangkan.
4.     Saling merawat sebagai suami-istri
5.     Mampu menghadapi kehilangan (kematian) pasanan dengan sikap yang positif (menjadi janda atau duda).
6.     Melakukan hubungan dengan anak-anak dan cucu-cucu.
7.     Menemukan arti hidup dengan nilai moral yang tinggi.




5.         Masalah-Masalah Kesehatan
Faktor-faktor seperti menurunnya fungsi dan kekuatan fisik, sumber-sumber finansial yang tidak memadai, isolasi sosial, kesepian dan banyak kehilangan lainnya yang dialami oleh lansia menunjukkan adanya kerentanan psikofisiologi dari lansia (Kelley et al, 1977). Oleh karena itu, terdapat masalah-masalah kesehatan yang multipel. Pasangan atau individu lansia dalam semua fase sakit kronis mulai dari fase akut hingga fase rehabilitasi sangat membutuhkan bantuan. Baik fungsi-fungsi yang terkait secara medis (pengkajian fisik, reaksi-reaksi yang buruk) dan fungsi-fungsi keperawatan (mengkaji respons klien terhadap sakit dan pengobatan serta kemampuan koping) adalah relevan disini. Promosi kesehatan tetap menjadi hal yang sangat penting, khususnya dalam bidang nutrisi, latihan, pecegahan cidera, penggunaan obat yang aman, pemakaian pelayanan preventif dan berhenti merokok.
Semakin tua, kemungkinan terkena beberapa penyakit atau penurunan kondisi tubuh semakin meningkat. Penyakit yang biasanya menyerang usia lanjut adalah radang sendi dan osteoporosis.
Kesehatan mental tidak hanya dilihat dari ketidak hadiran gangguan-gangguan mental, berbagai kesulitan dan frustasi, tetapi juga merefleksikan kemampuan seseorang untuk menghadapi masalah-masalah kehidupan dengan cara efektif dan memuaskan.
Depresi yang dimaksud adalah suatu gangguan suasana hati dimana individu merasa sangat tidak bahagia., kehilangan semangat, dan bosan. Orang yang menderita depresi seperti ini mudah kehilangan stamina, tidak merasa sehat, nafsu makan kurang, lesu, dan kurang bergairah. Gangguan kecemasan adalah gangguan psikologis yang dicirikan dengan ketegangan motorik (seperti gelisah dan gemetar), hiperaktivitas (pusing, jantung berdebar, atau berkeringat), dan pikiran yang mencemaskan. Penelitian membuktikan bahwa orang usia lanjut memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan kecemasan daripada depresi (George dkk, 1988).
Isolasi sosial, depresi, gangguan kognitif (yang mungkin berkaitan dengan sejumlah masalah termasuk penyakit (Alzheimer), dan masalah-masalah psikologis adalah masalah kesehatan yang serius, khususnya bila bersama-sama dengan sakit fisik. Pengkajian dan penggunaan sistem dukungan sosial keluarga atau individu harus menjadi bagian integral dari perawatan kesehatan keluarga.
Proses menua dan menurunnya kesehatan menyebabkan betapa pentingnya pasangan menikah saling menolong satu sama lain. Karena wanita hidup lebih lama dari pada pria, dan biasanya mereka orang yang membantu suami yang sakit atau yang tidak berdaya. Dalam kebanyakan kasus, penyakit bersifat kronis dan berkembang menjadi tak berdaya, sehingga perlu waktu untuk menyesuaikan terhadap  situasi terakhir. Suami menemukan tugas merawat istri sebagai suatu tugas yang lebih sulit, karena peran merawat, memelihara dan menjadi ibu rumah tangga semata-mata masih sebagai peran wanita. Defisiensi nutrisi dikalangan lansia terjadi secara luas dan menimbulkan banyak masalah yang berkaitan dengan penuaan (lemah, bingung, depresi, konstipasi, dan ada beberapa lagi).
























DAFTAR PUSTAKA

Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. 2011. Ilmu Keperawatan Komunitas Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika.
Setiawati, Satun, dkk. 2008. Penutun Praktis Asuhan Keperawatan Keluaraga. Jakarta: Trans Info media.



Comments

Popular posts from this blog

LP NSTEMI

KONSEP DASAR NSTEMI A.       PENGERTIAN NSTEMI adalah  adanya ketidakseimbangan antara pemintaan dan suplai oksigen ke miokardium terutama akibat penyempitan arteri koroner akan menyebabkan iskemia miokardium lokal. Iskemia yang bersifat sementara akan menyebabkan perubahan reversibel pada tingkat sel dan jaringan (Sylvia,2009). Unstable Angina (UA) dan Non ST Elevasi Infark Miokard diketahui merupakan suatu kesenambungan dengan kemiripan patofisiologis dan gambaran klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UA menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard  berupa peningkatan biomarker jantung (Sudoyo, 2009). Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erosi dan ruptur plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Pada Non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya tidak menyeb

WOC DISTRESS SPIRITUAL

Diagnosa nanda nic noc ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan (00099)